Setiap Minggu, gereja dipenuhi oleh jemaat. Bangku-bangku terisi, layar proyektor menyala, suara pujian menggema. Namun, satu pertanyaan yang mengganggu sering muncul: Apakah kita benar-benar hadir? Tidak sedikit dari kita yang datang ke ibadah tapi pikiran melayang, tangan sibuk dengan ponsel, hati dingin terhadap hadirat Allah. Apakah ini yang disebut ibadah?
Fenomena ini bukan hanya masalah konsentrasi, tetapi masalah teologi. Ketika ibadah dipahami hanya sebagai konsumsi rohani, maka kehadiran fisik pun menjadi sekadar formalitas. Di sinilah kita perlu kembali pada akar teologi ibadah, yaitu: ibadah bukan tentang menerima sesuatu, tetapi memberikan diri; bukan soal kenyamanan, tapi tentang pengorbanan.
Tulisan ini akan menggali kembali makna ibadah dari kacamata theology of sacrifice, khususnya dalam konteks gereja masa kini seperti GKY. Kita akan melihat bagaimana konsep pengorbanan membentuk pemahaman tentang adorasi dan pelayanan, serta bagaimana hal ini menantang gaya ibadah modern yang cenderung pasif dan konsumeristik.
Persembahan dalam Alkitab: Ibadah Dimulai dengan Memberi


Sejak halaman-halaman awal Alkitab, relasi antara manusia dan Allah dinyatakan dalam bentuk persembahan. Dari Kain dan Habel, Nuh, Abraham, hingga bangsa Israel di padang gurun—semuanya mendekat kepada Allah melalui korban.
Teolog Gary A. Anderson mengatakan bahwa dalam konteks Israel kuno, persembahan korban adalah tindakan komunal yang menyatukan umat dengan Allah dan satu sama lain melalui partisipasi nyata. Korban tidak dapat dilakukan secara pasif atau simbolis belaka, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk tindakan dan kerelaan untuk memberi.
Dalam sistem hukum Taurat, korban menjadi cara bagi umat untuk memulihkan relasi dengan Allah dan dengan sesama. Korban penghapus dosa, korban keselamatan, dan korban sajian bukan sekadar ritual, tetapi sarana untuk menunjukkan hati yang bertobat dan tunduk. Korban menjadi bentuk ekspresi ketaatan, rasa syukur, dan pengakuan akan ketergantungan manusia kepada Tuhan. Dalam pengertian ini, ibadah menjadi sangat personal tetapi juga sangat komunal.
Rasul Paulus kemudian menegaskan dalam Roma 12:1, “…persembahkanlah tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah, itu adalah ibadahmu yang sejati.” Ibadah tidak lagi berupa domba atau lembu, tetapi hidup kita sendiri—tubuh, waktu, energi, dan hati. John Calvin, teolog dan tokoh reformasi gereja, menyebut hal ini sebagai coram Deo, hidup yang terus-menerus dipersembahkan di hadapan Allah.
Teolog David Peterson menguatkan bahwa “ibadah sejati adalah respons penuh dari hati yang taat terhadap penyataan diri Allah.” Artinya, ibadah bukan sekadar hadir, tetapi tindakan menyerahkan seluruh eksistensi manusia kepada Tuhan. Ini menyentuh segala aspek hidup—baik yang tampak di dalam liturgi maupun kehidupan sehari-hari.
Adorasi dan Pelayanan: Dua Sisi Satu Koin Ibadah
Dalam Alkitab, ibadah sejati selalu mengandung unsur adorasi dan pelayanan. Ibrani 13:15-16 mencatat bahwa “korban syukur” kepada Allah tidak bisa dipisahkan dari tindakan “berbuat baik dan memberi bantuan.” Dalam pandangan ini, menyembah dan melayani adalah satu kesatuan.
Kata-kata seperti shachah dalam bahasa Ibrani dan latreuo dalam bahasa Yunani menggambarkan ibadah sebagai sesuatu yang aktif dan penuh hormat. Kata shachah misalnya, mengandung makna sujud sebagai bentuk ketundukan yang aktif. Sedangkan latreuo menekankan unsur pelayanan yang menyeluruh kepada Allah, yang juga muncul dalam Perjanjian Baru sebagai bentuk ketaatan yang praktis.
Teolog asal Amerika yang dikenal karena karyanya tentang ibadah, Robert Webber, mengatakan bahwa liturgi sejati adalah partisipasi dalam narasi Allah yang membentuk umat untuk hidup di dalamnya. Jadi, liturgi bukan sekadar urutan acara, melainkan pengalaman formasi rohani yang mendorong umat untuk menjadi persembahan yang hidup.
Teolog Harold Best menyebut bahwa manusia adalah “penyembah yang tidak pernah berhenti.” Bahkan setelah kejatuhan, manusia tidak berhenti menyembah—yang berubah hanyalah objek penyembahan. Oleh karena itu, arah hati sangat penting dalam ibadah. Ini menuntut kejujuran spiritual dan kerelaan untuk melayani Tuhan dalam kehidupan nyata.
Namun realitas hari ini menunjukkan banyak jemaat datang untuk menikmati ibadah, bukan untuk mempersembahkan sesuatu. Teolog sekaligus musisi Marva J. Dawn memperingatkan bahwa ibadah yang terjebak dalam budaya populer bisa kehilangan daya bentuknya. Gereja tidak boleh hanya menjadi tempat menyenangkan, tetapi tempat untuk dibentuk.
Jemaat yang Hadir Tapi Tak Hadir: Tantangan Ibadah Masa Kini


Gereja modern tidak kekurangan fasilitas, musik, atau teknologi. Namun banyak gereja kekurangan kehadiran sejati. Hadir fisik, tetapi absen hati. Duduk di bangku gereja, tapi pikirannya di tempat lain. Mulut menyanyi, tapi hatinya tidak bergema.
Masalah ini bukan sekadar teknis, tapi spiritual. Ketika ibadah dilihat sebagai konsumsi spiritual, maka umat merasa berhak memilih kenyamanan. Padahal, ibadah menuntut keterlibatan: waktu, tubuh, dan perhatian.
Teologi korban menantang gaya ibadah seperti ini. Pertanyaannya: Apa yang saya korbankan saat datang ke ibadah? Waktu? Ego? Preferensi? Ketika ibadah hanya menjadi tempat “menikmati”, maka kita kehilangan makna dasarnya: memberi diri.
Panggilan untuk GKY: Membentuk Ibadah yang Mengubah Hati
Dalam realitas multigenerasi di GKY, perbedaan selera dalam lagu dan gaya ibadah bisa menimbulkan ketegangan. Namun theology of sacrifice menolong kita bertanya, “Apa yang saya rela persembahkan demi ibadah bersama?” This is not just about musical preference, but about a heart willing to let go of ego and embrace others in worship.
GKY terpanggil membentuk umat yang bukan hanya menikmati liturgi, tetapi juga rela mengorbankan waktu, kenyamanan, dan bahkan preferensinya demi membangun tubuh Kristus. Ibadah sejati bukan soal kenyamanan, tapi pengorbanan.


Datang untuk Memberi, Bukan Hanya Menerima
Ibadah sejati bukan soal hadir atau tidak hadir, tetapi tentang memberikan diri. Sebab Allah tidak mencari penonton, tetapi penyembah. Bukan pengamat, tapi persembahan hidup.Theology of sacrifice menolong kita untuk menata ulang pemahaman kita tentang ibadah—bukan sebagai rutinitas, tapi sebagai respons. Dan hanya dengan semangat memberi inilah, gereja akan kembali menemukan kuasa ibadah yang sejati.
Referensi:
Anderson, Gary A. Sacrifice and Offering in Ancient Israel: Studies in Their Social and Political Importance. Atlanta: Scholars Press, 1987.
Best, Harold. Unceasing Worship: Biblical Perspectives on Worship and the Arts. Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 2003.
Calvin, John. Institutes of the Christian Religion. Translated by Ford Lewis Battles. Philadelphia: Westminster Press, 1960.
Dawn, Marva J. Reaching Out Without Dumbing Down: A Theology of Worship for the Turn-of-the-Century Culture. Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1995.
Peterson, David. Engaging with God: A Biblical Theology of Worship. Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 1992.Webber, Robert. Ancient-Future Worship: Proclaiming and Enacting God’s Narrative. Grand Rapids, MI: Baker Books, 2008.