Untuk rubrik Potret di edisi kali ini, tim NAFIRI mendatangi sosok wanita muda yang tidak asing lagi di keluarga besar GKY BSD. Ia sudah menjadi warga GKY BSD sejak Sekolah Minggu dan terkenal dengan keceriaan, semangat, dan bicaranya yang super cepat. Sepanjang wawancara, Mei-mei, begitu ia akrab disapa, didampingi oleh Daniel, suaminya.
Mei-Mei lahir dan dibesarkan di tengah keluarga non-Kristen dan menganut budaya leluhur, melakukan ritual sembahyang tiap kali ada acara khusus. Meskipun demikian, saat di sekolah dasar, Mei-mei dan dua kakaknya dikirim ke sekolah Kristen di Tangerang. Di sekolah tersebut ia berteman dengan Dian Lestari, yang orang tuanya – awalnya – juga bukan orang percaya, tapi memperbolehkan anaknya untuk pergi bergereja.
Mama Dian menyuruh Mei-Mei dan kakaknya ikut Sekolah Minggu di GKY BSD Rawa Buntu dan terus berlanjut hingga ia duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan masuk ke kelas remaja. Mei-Mei menemukan teman-teman yang kompak dan menjadi aktif terlibat dalam berbagai pelayanan di gereja.
Jarak antara sekolah Santa Ursula dan gereja yang cukup dekat memudahkan Mei-Mei untuk mampir ke gereja saat pulang sekolah dan mengikuti kelas kelompok tumbuh bersama (KTB) dan pendalaman Alkitab (PA). Di usia remaja itulah Mei-Mei bertobat. Ia banyak mempelajari doktrin-doktrin kekristenan seperti doktrin Tritunggal dan predestinasi di bawah bimbingan Laoshi-laoshi yang sangat peduli terhadap angkatan mereka. Tak hanya itu, para pembimbing juga mengajarkan banyak hal. Ada Ls. Fifi dan Ls. George yang mengajarkan manajemen dasar, Ls. Djie Kian yang bahkan membuat buklet untuk pengajaran, serta Ls. Ganda yang membimbing hal-hal yang berhubungan dengan seni.
Meskipun orang tua tidak pernah melarang Mei-Mei untuk aktif di gereja, tapi ada satu momen di mana ayahnya sangat marah. Penyebabnya, Mei-Mei pulang larut malam saat mempersiapkan acara retreat. “Papa sempat kesal, karena menurut Papa, saya sudah dikasih kebebasan untuk ke gereja dan pelayanan, tapi kok kebablasan. Anak remaja bisa pulang sampai tengah malam. Tapi kita biasa saling bantu, jadi kalau pulangnya udah kemalaman ya kita sekalian izin menginap di rumah teman,” Mei-mei tertawa mengenang. Ia sempat menjabat menjadi ketua Komisi Remaja saat duduk di kelas 3 Sekolah Menengah Atas (SMA) dan tahun pertama kuliah.
Perjumpaan dengan Pasangan Hidup
Mendengarkan nasihat salah satu Laoshi, Mei-mei memutuskan untuk tidak berpacaran dulu hingga lulus SMA. Namun, kenyataannya saat berada di dunia kuliah. Jurusan komunikasi yang dipilihnya rupanya didominasi oleh perempuan, sehingga Mei-mei jarang punya kesempatan untuk bertemu dengan cowok yang menarik di matanya.
Hingga pada 2007, datanglah seorang pemuda yang baru saja lulus dari sebuah universitas di Bandung, bergabung di persekutuan pemuda GKY BSD. Daniel, si pemuda pendatang baru, langsung tertarik dengan energi Mei-Mei yang seperti tidak pernah habis ketika melakukan pelayanan di gereja.
“Kecerewetan dia yang paling eyecatching. Kami bertemu di komunitas pemuda, pelayanan bareng di Sekolah Minggu… ya cinta lokasi lah,” ujar Daniel sambil tertawa. Daniel mulai membantu sebagai pemusik di Sekolah Minggu. Di sini Daniel makin kagum akan semangat dan keaktifan Mei-Mei, keceriaan dan cintanya pada Tuhan, semua usaha yang ia lakukan untuk melayani Tuhan. Sebaliknya, Mei-Mei tertarik dengan kepribadian Daniel yang lebih tenang.
Dua anak muda dengan kepribadian bertolak belakang ini akhirnya memutuskan untuk berpacaran di 2009. Mereka sempat berpacaran jarak jauh waktu Mei-mei melanjutkan studi ke China selama setahun. Sekitar empat tahun berpacaran, Daniel dan Mei-mei memutuskan menikah pada 2013.
Penantian Panjang
Di awal pernikahan, mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu berdua dulu dan berencana memiliki anak setelah setahun menikah. Nyatanya, sampai tahun kedua dan tiga, belum ada tanda-tanda Mei-Mei hamil. Padahal, enam bulan setelah menikah, mereka melakukan pemeriksaan kesehatan dan dinyatakan sehat. Juga tidak pernah ada keluhan atau hal-hal yang mengindikasikan bahwa akan ada kesulitan untuk hamil.
“Kami sempat bingung karena tidak ada hal yang tidak normal. Kami mulai ke rumah sakit dan ke dokter spesialis kandungan untuk mencari tahu. Dicek, tidak ada penyumbatan. Ke dokter spesialis andrologi (masalah kesehatan pria – red.) dua kali juga oke semua. Berobat ke beberapa dokter konsultan fertilitas yang berbeda, tapi tidak menemukan apapun,” kata Mei-mei.
Semua usaha sudah mereka lakukan, sampai ke tahap bedah seperti histeroskopi untuk mengecek kondisi organ reproduksi, laparoskopi, termasuk dua kali inseminasi (IUI) dengan dua dokter yang berbeda. Namun, semua perjuangan yang melelahkan secara fisik dan emosional tersebut belum membuahkan hasil.
Memasuki tahun keempat, mereka memutuskan untuk menghabiskan lebih banyak waktu jalan-jalan dan bergaul dengan komunitas yang masih sama-sama berdua saja tanpa anak. Doa mereka pun berubah. Yang tadinya isinya selalu minta supaya dikaruniai anak, sekarang mereka berdoa agar tidak menjadi tawar hati dan pahit jika Tuhan tidak memberikan anak. Juga berdiskusi tentang opsi apakah mereka akan mengadopsi atau terus berdua hingga akhir.
Mei-Mei dan Daniel belajar untuk tutup kuping terhadap semua pertanyaan tentang anak yang diajukan oleh keluarga besar tiap kali ada acara bersama. “Sebenarnya yang bikin frustasi dan tertekan justru karena kita sudah lakukan bagian kita lho, tapi bahkan dokter juga tidak tahu apa yang salah. Mereka menyebutnya unexplained infertility. Jadi kalau terus ditanya kapan punya anak, seolah-olah kami kurang berusaha, tidak melakukan apapun,” kata Mei-mei menjelaskan.


Saat itu Daniel tetap punya keyakinan bahwa suatu saat nanti mereka pasti tetap diberi anak. Sedangkan Mei-Mei lebih bersikap skeptikal dan berpikir bahwa banyak orang di luar sana yang lebih cinta Tuhan, lebih taat, tapi tidak dikabulkan doanya.
“Paling terasa kalau sedang cerita di Sekolah Minggu, tentang Hana atau Sara yang kemudian dikaruniai anak setelah penantian panjang. Saya jadi bertanya, ‘Bagaimana dengan kami?’”
Namun Mei-mei diingatkan bahwa di luar sana pun banyak teman yang hidupnya sangat baik di hadapan Tuhan, tapi toh Tuhan tak izinkan memiliki anak. “Dan ya tidak apa-apa,” kata Mei-mei.
Tentu saja ada malam-malam yang ia lalui dengan berdoa sambil menangis di hadapan Tuhan. Merasa stres karena berulang kali meminta hal yang sama, padahal ia tahu bahwa semua dalam kontrol dan kedaulatan Tuhan. Mei-Mei menyadari bahwa ia harus mengubah cara dia merespon apapun jawaban yang akan Tuhan berikan atas doa mereka.
Menikmati Mujizat Tuhan di tengah Pandemi
Ketika virus Covid merebak pada 2020, mereka pun berhenti berkunjung ke rumah sakit dan berusaha mengikuti pola hidup sehat yang dianjurkan oleh salah satu dokter. Mei-Mei dan Daniel memutuskan akan melanjutkan usaha mereka dengan program bayi tabung sebagai “usaha terakhir” segera setelah pandemi berakhir.
“Saya bilang ke Daniel, saat saya berumur 35 tahun dan Tuhan belum kasih, ya sudah kita berhenti saja dari segala program. Sudah tidak mau minum obat, suntik hormon, dan melalui segala up and down emosi,” kata Mei-Mei.
Masa itu mereka lalui dengan olahraga setiap sore sebelum Mei-Mei mengajar dari rumah secara daring dan Daniel ke kantor. Hal yang tidak pernah mereka lakukan di masa normal karena kesibukan pekerjaan.
Waktu Tuhan memang tidak bisa ditebak. Setelah delapan tahun pernikahan, di tengah pandemi Covid yang sedang memuncak, pada November 2020, Mei-mei hamil.
Memasuki usia kandungan tiga bulan, Mei-Mei memberitakan kabar kehamilannya pada keluarga dan teman-teman gereja. “Saya jadi seperti orang yang nggak beriman banget. Saya berdoa meminta dan ketika akhirnya Tuhan menjawab, bukannya bersorak-sorai saya malah meragukan dan ketakutan. Takut kalau ada apa-apa dengan anak kami,” ujar Mei-Mei.
Pemeriksaan kehamilan setiap bulan mereka jalani dengan ketakutan dan kekhawatiran, apakah akan berjalan dengan baik. Apalagi di awal kehamilan dokter berpesan untuk menjaga kandungannya baik-baik lantaran sempat ada pendarahan.
Pada 7 Juli 2021, lahirlah Jace melengkapi keluarga kecil Mei-mei dan Daniel.
Proses Memahami dan Menerima Rencana Tuhan
Menoleh ke belakang, Mei-mei menyadari betapa Tuhan menghadirkan Jace di waktu yang tepat. “Seiring waktu kami sadar ternyata ada hal yang kita nggak sanggup kerjakan kalau dikasih anak di awal-awal pernikahan. Jadi kami yakin memang Tuhan kasih di saat yang tepat banget, ketika kami sudah cukup matang dalam menjalani kehidupan pernikahan, melewati masa awal yang pastinya ada banyak perbedaan dan pergumulan,” kata Mei-Mei.
Ia juga belajar tentang rencana Tuhan lewat kedukaan yang Tuhan izinkan terjadi dalam keluarga besarnya. Saat Mei-mei hamil, keponakannya didiagnosa mengalami tumor batang otak yang sangat langka, tidak dapat disembuhkan. Dokter memprediksi keponakannya hanya bisa bertahan enam bulan lagi.
Di tengah kebahagiaan menantikan buah hati, Mei-mei berusaha sekali menjaga hati dan perasaan keluarga besarnya, terutama sang kakak. Tak mudah juga bagi Mei-mei melihat keponakan yang ia kenal sejak bayi jatuh sakit dan kondisinya memburuk begitu cepat hingga akhirnya meninggal di usia sangat muda, sembilan tahun. Mei-mei membayangkan posisi kakak dan iparnya. Di saat ia bergembira karena mendapatkan anak, kakaknya harus bersedih karena kehilangan anak. Jace lahir sebulan sebelum keponakannya berpulang.
“Pengalaman dengan keponakan saya ini mengajarkan kami banyak hal, bahwa anak bisa banget berpulang terlebih dahulu dibanding orang tua.” Ia teringat kata-kata penghiburan dari Pdt. Gabriel, bahwa saat Tuhan membuat karangan bunga, Dia bisa petik saat masih kuncup atau saat sudah mekar.
“Jadi saya pikir meski saya sudah melahirkan dan punya anak, tiap hari yang dia lewati benar-benar di luar kuasa kami untuk dapat memastikan dia dalam keadaan yang aman dan sehat. Kami harus belajar bahwa dia bukan milik kami, meskipun dia adalah anak yang sangat kami nanti-nantikan begitu lama.”
Mendoakan Hingga Hari ini
Dengan tuntutan hidup zaman sekarang, Mei-Mei memutuskan untuk kembali lagi bekerja sejak Jace berusia dua tahun. “Saya daftarkan dia terlebih dahulu untuk sekolah di IPEKA, karena kami ingin dia dididik di sekolah Kristen dengan nilai Kristiani yang sama. Kemudian setelah memantapkan hati untuk kembali bekerja, barulah saya melamar untuk bekerja di sana,” kata Mei-Mei.
Ini merupakan jawaban doanya yang sejak lama ingin bekerja di sekolah Kristen. Bekerja di sekolah Kristen, menurut Mei-mei, seperti melayani penuh waktu, karena di tengah jam kerja pun ada kebaktian. Ditambah lagi banyak kesaksian yang dapat ia nikmati. “Karena kami berdua dimenangkan dari bersekolah di sekolah Kristen, jadi menurut saya peran guru dan sekolah Kristen dalam memperkenalkan Kristus sangat penting, terutama untuk mereka yang tidak pernah dengar Injil,” ujar Mei-Mei.
Pergumulan untuk dapat menyeimbangkan waktu kerja dan waktu bersama anak menjadi fokus Mei-mei dan Daniel saat ini. Mereka mengusahakan untuk selalu menghabiskan waktu bersama Jace di akhir pekan. “Doa kami supaya Jace ada dalam anugerah Tuhan, kami tidak bisa memastikan keselamatannya, tapi kami berkesempatan menginjilinya sejak usia sangat muda,” kata Mei-Mei.
Hal lain yang masih menjadi beban dan terus mereka doakan adalah orang tua Daniel yang belum percaya. Tiap ada kesempatan, Daniel berusaha memberikan kesaksian tentang hidup mereka yang percaya dalam Tuhan. Mereka rindu kelak saat ada acara di sekolah atau gereja, opa dan oma Jace bisa ikut datang, mendengar Injil, dan menerima Yesus.
***