Tak tampak raut muram sarat beban berat di wajah Bapak Ronald Barus ketika kami menjumpainya pada suatu siang. Begitu pun di wajah Ibu Susi Simanullang, istrinya, dan Rivander, anaknya. Mereka tampak sehat dan ceria. Ibu Susi bahkan tampak bersemangat dan penuh senyum ramah melayani di Kantin Filia.
Siapa bakal menyangka ternyata keluarga ini telah dan tengah melewati badai hidup yang tidak ringan. Pada April 2024 lalu, di usianya yang belum genap 33 tahun, Pak Ronald didiagnosa menderita penyakit autoimun dan terkena stroke yang melumpuhkan sisi kanan tubuhnya.
Pak Ronald harus menjalani dua bulan perawatan di lima rumah sakit berbeda. Selama itu pula Ibu Susi, yang sama sekali tak berpengalaman soal perawatan di rumah sakit, setia mendampingi suaminya. Ia menyaksikan perdarahan yang dialami suami terkasih; mulai dari sedikit darah di bibir dan gusi, muntah darah, perdarahan di otak, hingga pernyataan dokter bahwa semua pembuluh darah Pak Ronald pecah.
Pergumulan Datang Bertubi-tubi
Semua berawal pada 5 April 2024. Suhu tubuh Pak Ronald terpantau di angka 36,6 derajat Celcius. Aman, tak ada demam. Nafsu makannya pun baik. Hanya saja, bibir dan gusinya mengeluarkan sedikit darah. Dokter di poliklinik yang dikunjungi Pak Ronald kemudian mendiagnosa Pak Ronald terserang virus demam berdarah dengue (DBD) dan menyarankan untuk menjalani rawat jalan.
Keesokan harinya, bercak merah mulai bermunculan di sekujur tubuh Pak Ronald. Selang sehari kemudian, darah mengucur deras dari hidungnya. Ia pun segera memeriksakan diri ke rumah sakit tipe C di Kawasan BSD menggunakan fasilitas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Hasil tes darah menunjukkan kadar hemoglobin dan leukosit Pak Ronald rendah. Bahkan, kadar trombositnya hanya 2.000 per mikroliter (mkl), jauh di bawah angka ideal yakni 150.000-450.000/ mkl. Inilah yang menyebabkan perdarahan internal di tubuh Pak Ronald.
Karena keterbatasan dokter dan peralatan, Pak Ronald dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi, yakni rumah sakit tipe B. Di sini, Pak Ronald diminta segera ke rumah sakit lain karena kondisinya sudah mendesak. Ditambah lagi, saat itu bertepatan dengan hari raya Idul Fitri, sehingga banyak dokter yang cuti.
Ibu Susi gentar. Kalau bukan karena memikirkan biaya, ia pasti sudah membawa suaminya ke rumah sakit lain demi mendapatkan penanganan medis segera. Tengah malam itu juga, ia harus membuat keputusan soal perawatan suaminya.
Atas saran dan bantuan dana dari salah satu anggota jemaat GKY BSD, Ibu Susi akhirnya segera membawa Pak Ronald ke rumah sakit swasta non-BPJS untuk penanganan awal. Puji Tuhan, ada dokter yang menangani kesehatan Pak Ronald. Melihat Pak Ronald masih bisa berjalan sementara hasil tes darah jauh dari batas normal, dokter tersebut pun terheran-heran. “Kok, masih hidup ya,” ujarnya.
Pak Ronald akhirnya diopname dan untuk sementara keluarga bisa bernafas lega. Namun tak berlangsung lama. Pak Ronald mulai kehilangan nafsu makan dan muntah darah hebat. Perdarahan juga terjadi di otak Pak Ronald yang menyebabkan stroke. Ia tak sadarkan diri dan sisi kanan tubuhnya lumpuh.
Dokter mendiagnosa Pak Ronald mengidap penyakit autoimun Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP). Singkatnya, sistem kekebalan tubuh menganggap trombosit sebagai benda asing yang berbahaya sehingga memerintahkan antibodi untuk menyerang trombosit. Akibatnya, jumlah trombosit menurun dan menyebabkan tubuh mudah mengalami perdarahan.
Seolah tak berhenti, pergumulan berikutnya datang lagi. Rumah sakit meminta persetujuan perawatan di ruang perawatan intensif atau ICU dengan kisaran biaya hingga Rp 25 juta per hari. Harga tersebut belum termasuk biaya injeksi steroid, transfusi trombosit, obat-obatan, dan alat medis lainnya.
Di tengah kekalutan, Ibu Susi mengambil waktu berdoa. Dia juga berdiskusi dengan keluarga besar dan salah satu anggota jemaat yang sejak awal setia menolong.
Beberapa waktu kemudian, kantor Pak Ronald menelepon dan menginformasikan tentang manfaat asuransi dari perusahaan – hal yang tidak diketahui Ibu Susi sebelumnya. Biaya perawatan yang bisa ditanggung perusahaan bahkan mencapai ratusan juta rupiah, cukup untuk menanggung hampir seluruh biaya perawatan Pak Ronald.
Perjalanan Panjang Menuju Kesembuhan
Setelah pemberian injeksi steroid dan transfusi trombosit selama beberapa hari, kadar trombosit Pak Ronald stagnan di angka 7.000/mkl. Akhirnya pada 14 April 2024, enam hari sejak menjalani opname, keluarga besar memutuskan untuk memindahkan Pak Ronald ke ICU di rumah sakit BPJS tipe C di Tangerang.
Di rumah sakit ini kondisi Pak Ronald sempat memburuk. Nafasnya pendek-pendek dan selama dua hari tubuhnya tak merespon stimulus apapun. Dokter menyatakan Pak Ronald sudah tidak lagi bisa ditolong.
Meski berat, keluarga sudah merelakan Pak Ronald jika ia harus berpulang. Namun keesokan harinya, Tuhan menyatakan mujizat. Tiba-tiba Pak Ronald sadar dan bisa duduk. Walau Pak Ronald hanya mengingat Rivander, anaknya, hati Ibu Susi tetap diliputi sukacita dan harapan bahwa suaminya bisa sembuh.
Meski kondisi fisik Pak Ronald mulai membaik, tetapi kadar trombosit dalam tubuhnya masih belum stabil. Nilainya naik-turun di kisaran 8.000 – 15.000/mkl. Karena kondisi tersebut, setelah menjalani perawatan selama 30 hari, Pak Ronald pun kembali dirujuk ke rumah sakit BPJS tipe B di Jakarta Barat. Setelah seminggu diopname dan kadar trombositnya meningkat, Pak Ronald pun diperbolehkan rawat jalan.
Kadar trombosit di tubuh Pak Ronald masih terus fluktuatif. Kadang angkanya merosot bahkan hingga 3.000/mkl yang memaksanya dirawat inap dan mendapatkan transfusi trombosit. Dokter bilang, kadar trombosit Pak Ronald diperkirakan tidak bisa sepenuhnya pulih seperti sedia kala. Sampai sekarang, setiap bulan Pak Ronald rutin kontrol untuk mengecek kondisi kesehatannya.
Berharap Hanya kepada Tuhan
Entah berapa kali Ibu Susi mendengar pernyataan dokter yang begitu menggentarkan. “Maaf, Bapak sudah tidak bisa ditolong.” “Bapak bisa berdiri sendiri kira-kira tiga bulan, dan baru bisa berjalan lagi satu tahun lagi”. “Ada tumor di otak”. “Kemungkinan ada masalah di sumsum tulang belakang.” Namun, keluarga ini telah mengalami secara pribadi betapa Tuhan menunjukkan kuasa-Nya di atas semua keterbatasan manusia.
Pemeriksaan lanjutan menunjukkan tidak ada tumor di otak dan tidak ada masalah pada sumsum tulang belakang Pak Ronald. Kondisi Pak Ronald pun berangsur pulih, bahkan hanya dalam empat hari sudah bisa berjalan perlahan, jauh lebih cepat dari perkiraan dokter.
Pak Ronald pun sudah bicara dengan artikulasi yang sangat jelas dan lancar. Saat kami temui pada September 2024 lalu, tak terlihat lagi kesulitan bicara yang sempat ia alami akibat serangan stroke. Walau belum pulih seratus persen, ia juga sudah bisa mengendarai sepeda motor. Dia bahkan berencana akan kembali bekerja pada Oktober 2024, saat enam bulan cuti sakit yang diberikan kantornya berakhir.
Kilas balik ke dua bulan masa perawatan suaminya, Ibu Susi juga amat takjub dan bersyukur atas kekuatan yang Tuhan anugerahkan kepadanya. Ia tetap sehat meski pernah tak tidur, tak makan, bahkan pernah tak mandi tiga hari saat kondisi Pak Ronald kritis.
Tentu saja sekali waktu kelelahan juga mendera Ibu Susi. Suatu hari saat menemani Pak Ronald berobat jalan, ia harus mendorong suaminya menggunakan kursi roda melewati jalan menanjak. Di tengah jalan, Ibu Susi kehilangan tenaga hingga tak mampu mengendalikan kursi roda dan Pak Ronald pun terjatuh.
Ibu Susi sempat panik karena dokter berpesan Pak Ronald tidak boleh terjatuh atau terbentur karena risiko perdarahan. Namun, Puji Tuhan, sama sekali tidak ada memar atau perdarahan di tubuh Pak Ronald.
Perawatan medis selama berbulan-bulan bukan hanya berdampak pada kondisi fisik Pak Ronald dan Ibu Susi, tapi juga mempengaruhi kondisi finansial keluarga. Asuransi kantor dan BPJS memang amat membantu, tapi tetap ada ekses biaya yang mesti mereka keluarkan dari kantong sendiri. Di antaranya 55 kantong trombosit dan obat senilai puluhan juta sewaktu Pak Ronald dirawat di ICU selama 30 hari.
Namun, di dalam pergumulannya, Pak Ronald sekeluarga tetap bersyukur dan berserah pada Tuhan. “Biarlah Tuhan yang mengambil kendali atas semua yang terjadi. Kami tidak punya apa-apa, hanya punya hati yang mau berserah kepada Tuhan.” Begitu Ibu Susi berdoa.
Dan pemeliharaan Tuhan sungguh nyata lewat bantuan materi dari banyak orang. Perhatian, doa, dan kehadiran keluarga, teman-teman, atasan, anggota jemaat, Gembala serta Guru Injil pun sangat membantu dan memberikan kekuatan bagi Pak Ronald dan Ibu Susi.
Pak Ronald dan keluarga telah menyaksikan keajaiban kuasa Tuhan. Rentetan persoalan dan pergumulan, terutama selama Pak Ronald dirawat di rumah sakit, dapat mereka lalui hanya karena mereka berserah kepada Tuhan. Ya, kadang mereka gentar. Namun, tak sekalipun mereka putus asa.
Puji Tuhan, melalui semua badai kehidupan dan mujizat yang telah terjadi, iman mereka sekeluarga kepada Tuhan justru semakin dikuatkan. Mereka percaya, Tuhan yang memberikan kekuatan dan kesembuhan melalui kasih, anugerah, dan mujizat-Nya. “Inilah aku Tuhan, Engkau yang punya segalanya. Baik kehidupanku maupun nafasku, Tuhan yang punya kendali.”
No Comment! Be the first one.