Di usia 61 tahun, Merry Tay masih amat produktif. Walau sudah pensiun, ia tetap aktif bekerja. Bila ada waktu senggang, ibu dari dua anak ini memilih menekuni hobi bercocok tanam di halaman rumahnya.
Sekitar 15 tahun lalu, Merry aktif terlibat di beberapa pelayanan, baik di dalam GKY BSD maupun di luar gereja. Namun, karena sesuatu dan lain hal, ia memutuskan untuk melayani di luar gereja walau tetap rutin mengikuti ibadah Minggu di GKY BSD.
Awal 2024, bersamaan dengan dimulainya “Christlikeness Movement”, Merry merasakan panggilan Tuhan untuk kembali melayani di GKY BSD. Dan sekembalinya Merry ke GKY BSD, dimulailah perjalanan iman yang mengubah kehidupan rohaninya.
Kayu Bakar yang Terlempar
Benarlah Firman Tuhan dalam Ibrani 10:25, “Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti yang biasa dilakukan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat.”
Lama meninggalkan pelayanan di gereja, Merry menyadari kerohaniannya tidak bertumbuh sehat walau kelihatannya masih setia beribadah setiap minggu dan bersaat teduh setiap pagi. Ternyata, semua itu hanya menjadi rutinitas semata.
Bukannya tak menikmati pelayanan di luar gereja, tetapi tanpa ia sadari, ia kehilangan kesempatan untuk menikmati komunitas tempat tumbuh bersama. “Ibarat kayu bakar yang terlempar sendiri sehingga cepat padam,” kata ibu yang akrab disapa Cien cien ini.
Awal 2024, saat “Cristlikeness Movement” diluncurkan, hati Merry mulai tergerak. Khotbah Pdt. Tommy Elim saat itu menggugahnya untuk mulai mencari kesempatan melayani Tuhan dalam wadah gereja. Namun, dalam kerinduannya, terselip pula kebingungan. “Asli, sangat bingung, karena semua terasa asing saking sudah lama sekali (tidak melayani di gereja).”
Di tengah kebingungan, ia memberanikan diri mendaftar di komunitas Komisi Wanita dan kemudian bergabung dalam CGF Kebaikan di awal Maret 2024. Merry sangat mensyukuri kesempatan ini. “Untung ada program pencanangan ‘C-Movement’ di gereja.”
Namun, Tuhan punya rencana berbeda untuk Merry. “Tuhan mau saya benar-benar menyadari kondisi iman saya yang sedang tidak baik-baik saja dan benar-benar bertobat; bukan sekadar cari kesibukan pelayanan dalam gereja secara fisik saja.”
Terjadilah suatu tragedi yang sangat mengejutkan Merry. Pada 29 Maret 2024, sepulang dari ibadah Jumat Agung, Merry berkebun di halaman belakang rumahnya karena kebetulan cuaca sedang cerah. Merry lalu memijakkan kakinya di atas kayu untuk menyeberangi kolam. Tak disangka, kayu yang dipijaknya ternyata rapuh. Alhasil, Merry terjatuh ke kolam dalam posisi duduk, tepat di atas bebatuan kerikil yang cukup tajam.
“Sampai sekarang saya masih tidak sepenuhnya paham bagaimana saya bisa terjatuh. Padahal kayu rapuh tersebut tidak patah, hanya retak saja.”
Akibat insiden tersebut, kedua pergelangan tangan Merry patah dan tulang pelvisnya (tulang panggul) retak. Merry berusaha bangun dan bergerak dengan tidak beraturan yang justru memperparah kondisinya. Tulang pelvisnya bergeser.


Puji Tuhan, tak lama kemudian Petrus Lim, suaminya, pulang dari gereja dan segera memanggil ambulans. Sesampai di Rumah Sakit Eka, dokter spesialis ortopedi yang ditugaskan untuk menangani Merry pun mengalami kendala sehingga tidak bisa langsung memeriksa.
Barulah pada 31 Maret 2024 malam, dua hari setelah terjatuh, dokter mengoperasi kedua pergelangan tangan Merry. Setelah operasi, dokter menyatakan tangan Merry baru akan bisa digunakan setelah tiga hingga enam bulan kemudian. Sementara tulang pelvisnya masih belum ditangani karena ada dokter lain yang berbeda sub-spesialisasi.
Dua hari berikutnya, dokter datang memeriksa tulang pelvis Merry. “Namun, itu hanya dokter pengganti ya, bukan dokter ortopedi khusus tulang bawah.” Dengan santai, si dokter bekata, “Tulang pelvis Ibu tidak bisa dioperasi dan hanya bisa menunggu waktu tiga hingga enam bulan sampai tulang pelvis menyatu dengan sendirinya.”
Dokter pun berulang kali berpesan bahwa Merry harus bed-rest, tidak boleh bergerak sama sekali. Harus benar-benar menunggu tulang pelvis tumbuh sempurna baru boleh menapak dan belajar berjalan, mengingat Merry sudah berumur 61 tahun dan memiliki riwayat tulang keropos.
Mendengar informasi ini, kondisi mental Merry semakin tertekan dan emosinya pun tidak stabil. Dia jadi sering marah-marah tanpa sebab yang jelas. “Hubungan dengan anggota keluarga jadi kacau karena emosi saya sering tersulut tanpa sebab.” Dari hari ke hari, Merry semakin terpuruk hingga bahkan tidak bisa berdoa dan membaca Firman Tuhan. “Bisanya cuma menangis dan menyalahkan diri sendiri.”
Akhirnya, Tuhan pun menjadi sasaran kemarahan Mama dari Valencia dan Theofilia ini. “Saya sudah menjalankan hidup dengan baik, mengapa Tuhan izinkan saya harus hidup terpasung seperti ini dalam masa enam bulan?” Begitu pertanyaan yang terus berkecamuk di hatinya dan membuatnya semakin marah.
“Memang manusia pada dasarnya jika dalam kesusahan, sepertinya Tuhanlah yang salah. Dengan kata lain, Tuhan penyebab semua kesusahan yang kita alami,” katanya.
Pemulihan Rohani
Sekalipun demikian, dalam keterpurukannya, Merry mensyukuri kebiasaannya untuk mencari solusi pada Tuhan, bukan pada sesama manusia. Karena sedang tertekan sehingga sulit untuk berdoa dan membaca Firman Tuhan, Merry memilih mendengarkan kotbah-kotbah di internet, selain tetap setia mendengar khotbah ibadah Minggu dan Kebaktian Doa Rabu GKY BSD.
Suatu waktu ketika ia mendengarkan khotbah di Kebaktian Doa Rabu, tersebutlah kisah tentang Arthur Ashe, seorang petenis legendaris Amerika Serikat. Arthur harus menjalani operasi jantung sebanyak dua kali dan kemudian malah terinfeksi HIV yang bersumber dari transfusi darah. Diceritakan, keluarga Arthur marah kepada Tuhan dan bertanya mengapa Tuhan mengizinkan hal ini terjadi padanya. Arthur menjawab, “Ketika saya mengangkat trofi Wimbledon, saya tidak pernah bertanya kepada Tuhan mengapa saya yang menang. Jadi, ketika sekarang saya dalam kesakitan, tidak seharusnya juga saya bertanya kepada Tuhan mengapa saya.”
Kata-kata Arthur yang disampaikan dalam khotbah itu terus terngiang-ngiang di benak Merry. Perkataan itu pula yang mendorongnya mengambil keputusan untuk bertobat dan berubah. Beliau bertekad, “Dalam kondisi ‘dipasung’ atau tidak, saya harus percaya bahwa Tuhan punya kehendak baik dalam setiap hal yang dialami oleh anak-Nya.”


Maka mulailah Merry bergumul dan mengoreksi pandangannya terhadap kesulitan yang dia alami. Pergumulan yang tidak mudah, jatuh-bangun berkali-kali. Namun, kondisi hati yang sudah bisa menerima kenyataan, membuat Merry kembali tekun berdoa dan membaca Firman Tuhan, dua hal yang menjadi sumber kekuatan dan meneguhkan kembali imannya.
“Tuhan mengizinkan kita mengalami kesulitan dan bergumul agar kita sendiri bisa menemukan kehendak Tuhan atas diri kita. Hal ini tidak bisa didapatkan orang lain yang menasihati kita dengan hikmat yang mereka yakini,” ujarnya.
Mengingat kembali rangkaian peristiwa kejatuhannya – baik fisik maupun rohani – Merry semakin takjub melihat bagaimana Tuhan sudah mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkannya dalam perjalanan iman ini. Ia bersyukur waktu itu suaminya pulang tak berselang lama setelah ia terjatuh, sehingga ia bisa segera dibawa ke rumah sakit. Ia juga bersyukur sudah bergabung di CGF Kebaikan yang menjadi tempat berbagi cerita kasih Tuhan.
Hal lain yang ia syukuri adalah, beberapa bulan sebelum jatuh, ia membeli polis asuransi kesehatan yang kemudian amat membantu biaya perawatannya. Padahal sebelumnya ia cukup skeptis soal manfaat asuransi. Ia juga sempat melanjutkan pengobatan osteoporosis yang sempat terhenti, hal yang kemudian membantu pemulihan tulangnya. Masih banyak hal yang dapat ia syukuri, tapi yang jelas Merry memahami bahwa Tuhan sudah mempersiapkan semua yang ia perlukan untuk melewati kesulitan.
Beberapa teman terheran-heran dan tidak bisa menerima pandangannya. “Bagi orang yang tidak percaya, pemikiran kita sebagai orang percaya seperti itu adalah sangat aneh, atau dengan kata lain tidak logis. Bagi mereka, seharusnya Tuhan dapat mencegah kejadian buruk, tapi mengapa hanya mempersiapkan saja?”
Merry pun menjawab, “Tuhan tidak pernah menjanjikan hidup saya selalu baik-baik saja, melainkan Tuhan menjanjikan penyertaan. Hanya saja di awal-awal saya tidak menyadari penyertaan Tuhan.”
Pemulihan rohani membuat Merry menjalani pemulihan fisiknya dengan hati dan pikiran yang ringan. Ia tak lagi hidup dalam penyesalan, emosi, apalagi menyalahkan Tuhan. Rasa malu yang sempat menghinggapinya lantaran disaksikan tetangga dalam kondisi terbaring dan dibawa menggunakan ambulans, kini tak ada lagi. Begitu juga kekhawatiran dan rasa deg-degan saat harus ditandu melewati pintu rumah yang terbatas lebarnya. Dia menjalani semuanya dengan tenang.
Setelah penantian lebih dari satu bulan, akhirnya Merry diperiksa oleh dokter spesialis ortopedi sub-spesialis tulang panggul. Dokter senang dengan perkembangan Merry dan menyatakan ia tidak perlu berbaring selama enam bulan. Dia bahkan menyarankan Merry untuk mulai duduk menggunakan kursi roda.
Tak sampai dua bulan, Merry sudah disarankan untuk belajar menapak dengan kaki kanan sementara kaki kiri berjinjit. Sebulan berikutnya, Merry sudah bisa dan diizinkan berjalan dengan langkah-langkah yang ditentukan oleh dokter.
“Puji Tuhan!” Merry berseru. Bukan karena vonis ‘dipasung’ berkurang dari enam bulan menjadi 2,5 bulan, melainkan ucapan syukur atas pemulihan rohani yang menjadi titik penting dalam perjalanan imannya.
Hingga saat ini, walaupun tangannya belum pulih seperti semula, Merry sangat mensyukuri semua perkembangan baik yang sudah dia alami. Bahkan, dokter menyatakan kondisi osteoporosis Merry membaik yang ditunjukkan oleh hasil tes kepadatan mineral tulang (Bone Mineral Density/ BMD).
Menengok ke belakang, Merry menyadari pemulihannya berjalan lebih cepat saat kerohaniannya sudah bangkit. Dia menemukan kebenaran dari Amsal 17 ayat 22: “Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang.”
Di akhir perbincangan, ketika penulis bilang bahwa kesaksiannya sangat luar biasa, dia cepat-cepat menjawab: “Tidak, sebetulnya saya malu banget. Di umur saya yang sudah tidak muda lagi ini, setelah diizinkan mengalami kesakitan ini, saya baru memahami betapa tidak mudahnya bergumul dalam keadaan sulit.”
“If I were to say, ‘God, why me?’ about the bad things, then I should have said, ‘God, why me?’ about the good things that happened in my life.” ~ Arthur Ashe
No Comment! Be the first one.