Lahir di Medan, Sumatera Utara, sebagai anak pertama dari empat bersaudara, Sadikin dibesarkan di keluarga Konghucu. Sejak kecil ia melihat kebiasaan dan tradisi sembahyang yang rutin dilakukan orang tuanya.
“Tiap Kamis sore, Mama mengajari kami sembahyang dan saya termasuk yang taat, cukup menikmati bau kemenyan yang dibakar sangat wangi,” ujar Sadikin mengenang.
Meskipun demikian, sejak kecil ia justru disekolahkan oleh mamanya di sekolah Kristen karena kualitasnya yang bagus. Lalu ketika duduk di bangku SD kelas 6, Sadikin mulai mengikuti Sekolah Minggu.
Mengenal Tuhan Lewat Kelas Agama
Ketika beranjak remaja, tepatnya kelas 3 SMP, Sadikin sempat diajar oleh guru injil yang menceritakan kisah-kisah Alkitab dengan sangat menarik. Di sinilah ia mulai tertarik akan kekristenan.
Ketika lulus SMP, Sadikin bersama tiga temannya melanjutkan tingkat SMA di sebuah sekolah baru yang mengharuskan mereka mengikuti sesi orientasi. Sayangnya, jadwal orientasi berbarengan dengan retreat gereja. Ketiga temannya memutuskan untuk tidak hadir di orientasi sekolah dan memilih untuk “taat kepada Tuhan” dengan semua konsekuensinya. Sadikin, yang selama ini diajarkan untuk selalu mematuhi peraturan sekolah, menjadi khawatir tidak diizinkan oleh orang tuanya untuk ikut retreat. Ternyata sang Mama mengizinkan Sadikin untuk ikut retreat dan mewakili dia untuk hadir di orientasi sekolah. Ini merupakan jawaban doa tiga teman Sadikin yang akhirnya menjadi sahabat-sahabat rohani Sadikin.
Sadikin muda benar-benar lahir baru dan merasakan kasih Tuhan yang berlimpah ketika mengikuti retreat remaja Gereja Methodist Gloria Medan di Kabanjahe saat ia duduk di kelas 2 SMA. Bukannya tanpa tantangan, penolakan dari orang tua terjadi ketika Sadikin semakin terlibat aktif di pelayanan remaja, sehingga mereka merasa rumah hanya dijadikan tempat singgah seperti hotel.
“Saya benar-benar nggak jadi saksi Tuhan yang baik, jarang menyapa orang tua, sibuk kegiatan sama teman-teman gereja dan antar-jemput mereka. Ada saat ketika Papa dan Mama melarang saya pergi pelayanan yang mulainya jam 6 sore, ya sudah, jam 5 sore saya kabur duluan, dulu kan nggak ada HP jadi nggak bisa dicariin, paling pulangnya dimarahin… bandel banget pokoknya,” kata Sadikin.
Hingga suatu saat, ia sadar ketika seorang pendeta menegur dan bahwa dia harus belajar taat kepada orang tua. Perubahan tersebut juga disadari oleh orang tua Sadikin, hingga akhirnya mengizinkan dan bahkan mendukung Sadikin ke gereja.
Lulus SMA, sang Papa mengirim Sadikin untuk kuliah ke Amerika Serikat mengambil jurusan computer science di Ohio State University. Di kota ini, ia aktif beribadah di gereja lokal dan melayani di persekutuan mahasiswa Indonesia (Indonesian Christian Fellowship/ ICF) yang diadakan tiap Sabtu malam. Sadikin juga setia beribadah tiap Minggu dan di Jumat malam ia juga aktif di kelompok kecil mahasiswa yang melakukan Bible study.
Di persekutuan ICF itulah ia bertemu dengan Guna yang kemudian menjadi istrinya. “Saya mendoakan pasangan hidup yang benar-benar punya hati untuk Tuhan, yang tidak keberatan dengan jadwal pelayanan saya, dan Guna sejalan dengan saya,” kata Sadikin.
Relasi mereka diawali dengan saling cek latar belakang budaya keluarga dan pertanyaan ke orang tua masing-masing, apakah mereka boleh berpacaran karena selisih umur enam tahun yang konon menurut tradisi China kurang baik. “Tapi mertua saya baik sekali, tidak ada masalah dengan hal ini. Demikian juga orang tua saya, jadi kami anggap ini juga jawaban Tuhan. Akhirnya kami menikah pada 2002,” kata Sadikin.
Kemurahan Tuhan dalam Kehidupan Pernikahan
Mereka mengikuti saran pendeta untuk tidak memiliki anak sampai tiga tahun pertama supaya bisa lebih saling mengenal dan membangun hubungan suami-istri yang intim. “Ketika kami sudah siap tiga tahun kemudian untuk mempunyai anak ternyata Guna keguguran. Kata dokter, ini hal yang normal. Setelah keguguran kedua kali, dokter bilang kami masuk statistik, karena jarang orang keguguran hingga dua kali,” kata Sadikin.
Saat itu, Sadikin dan Guna cukup down dan memutuskan untuk tidak datang ke persekutuan ICF. Di momen tersebut, pada waktu baca Alkitab, Sadikin mendapatkan ayat dari 1 Tesalonika 5:16-18 yang menguatkan mereka berdua hingga akhirnya mereka memutuskan untuk tetap berangkat ke persekutuan. Belakangan, beberapa teman bersaksi bahwa mereka terberkati dengan keputusan Sadikin dan Guna untuk tetap hadir di tengah kedukaan mereka.
Dokter menyatakan adanya kelainan kandungan yang dapat menyebabkan kelahiran prematur atau bahkan keguguran. Maka opsi lainnya adalah mengadopsi anak. Namun, ketika mereka hendak keluar dari ruang dokter, dokter tersebut mendadak menyarankan mereka lakukan MRI sebelum rencana liburan ke Indonesia. Ternyata sekembalinya dari Indonesia, dokter memberitahu bahwa permasalahan di kandungan Guna bisa ditangani lewat operasi.
Setelah operasi, pada 2007 lahirlah putra pertama mereka, Matthew, yang artinya The Gift of The Lord atau hadiah dari Tuhan. “Mengingat kondisi sebelumnya, dokter mengizinkan Guna untuk USG kandungan setiap dua minggu sekali. Jadi kami benar-benar takjub melihat keajaiban pekerjaan Tuhan, mulai dari satu titik dengan denyut jantung, kemudian janin, tumbuh tangan, kaki, dan kepala. Dokter bilang, dengan sejarah keguguran dua kali, kami adalah satu-satunya pasien yang bisa memiliki anak secara alami,” kisah Sadikin penuh syukur.
Satu tahun kemudian, mereka kembali dikaruniai anak laki-laki yang diberi nama Michael, yang artınya: siapa yang seperti Tuhan?
Kemurahan Tuhan dalam Memimpin Keputusan Kembali ke Indonesia
Setelah kelahiran putra kedua mereka, tiba-tiba Guna beberapa kali mempertanyakan kapan pulang. “Saya agak kesal. Buat saya pulang atau tidak pulang bukan merupakan permasalahan moral, karena di Amerika pun kami aktif terlibat dalam pelayanan. Sebetulnya kami ingin pulang karena orang tua makin tua dan supaya anak-anak punya identitas Indonesia. Di satu sisi saya bergumul dengan pekerjaan saya cukup spesifik, yaitu sistem integrasi yang saat itu masih sangat jarang di Indonesia,“ ujar Sadikin.
Lalu keanehan terjadi. Suatu hari di musim panas 2009, ruang bawah tanah rumah mereka kebanjiran. Mereka sama sekali tidak tahu penyebabnya sampai saat ini.
“Karena kejadian banjir itu, tiap malam, setelah makan malam saya turun ke basement untuk bongkar karpet ganti dengan vinyl, bisa sampai tengah malam…”
Sambil berbenah, muncul di pikiran Sadikin tentang nasib Michael kalau harus pulang ke Indonesia. Saat baru lahir, putra keduanya sempat dirawat intensif di NICU karena alergi parah. “Di sini saja susah karena Michael harus minum susu tertentu akibat alergi tersebut,” kata Sadikin. Hingga satu hari ada suara berbicara di hati Sadikin, “Akulah yang menciptakan Michael, Akulah yang akan merawat dia.”
“Langsung saya merasakan damai yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya,” tutur Sadikin.
Setelah itu Sadikin dan Guna mulai membereskan barang-barang yang ternyata memakan waktu sekitar sembilan bulan. Mereka kemudian memutuskan rencana untuk kembali ke Indonesia pada 11 September 2010. Namun, di luar dugaan, ternyata Guna hamil lagi dan diperkirakan akan melahirkan pada November 2010.
“Saya sempat berpikir apakah sebaiknya menunggu hingga anak ketiga kami lahir supaya sama dengan kedua kakaknya yang lahir di Amerika, sehingga nantinya dia akan punya pilihan kewarganegaraan. Tapi Guna memantapkan kegalauan saya dengan berkata, kalau Tuhan sudah panggil kami pulang, Tuhan yang akan atur masa depan bayi ini,” ujar Sadikin.
Keluarga Sadikin pun kembali ke Indonesia dengan dua anak balita dan Guna yang sedang hamil besar. Untuk sementara, mereka tinggal di rumah kakak Guna di area BSD dan mulai beribadah di GKY BSD. Dua bulan kemudian, lahirlah anak ketiga mereka, seorang putri yang mereka namakan Carissa, yang juga berarti grace atau kasih karunia.
Kemurahan Tuhan dalam Pekerjaan
Dalam perjalanan kariernya di Amerika, sekitar 2008 Sadikin pernah terkena layoff (pemutusan hubungan kerja-red), beberapa minggu sebelum rencana kunjungannya ke Indonesia. Setelah itu beberapa tawaran pekerjaan datang, tetapi hampir semua mengharuskan Sadikin untuk sering melakukan travelling. Syarat tersebut membuatnya enggan karena berarti dia akan jarang bertemu dengan anak-anak yang saat itu masih kecil, susah untuk aktif pelayanan dan menjadi kurang dekat dengan teman-teman persekutuan.
Satu pekerjaan dengan tingkat travelling rendah ditawarkan oleh seorang headhunter (perusahaan atau orang yang memberi layanan ketenagakerjaan-red) dari India. Namun, Sadikin disarankan untuk “berbohong” tentang suatu hal ketika akan wawancara. Dengan tegas Sadikin menolak tawaran dan melewatkan pekerjaan tersebut.
Ternyata Tuhan punya rencana sempurna tepat pada waktuNya. Sesaat sebelum berangkat ke Indonesia, Sadikin kembali mendapat panggilan wawancara kerja. “Saya benar-benar bergumul sebetulnya karena orang tua juga tidak tahu kalau saya lagi jobless. Singkat cerita waktu saya di Indonesia saya dipanggil wawancara di Atlanta oleh sebuah perusahaan bagus, di mana para pekerja di sana rata-rata sudah bekerja selama lebih dari 15 tahun. Saya diterima, bersyukur Tuhan beri pekerjaan yang sangat bagus, semua yang saya inginkan saya dapat semua. Saya bisa bekerja dari rumah dan bisa tetap pelayanan. Ini merupakan milestone iman saya, bahwa ketika saya memutuskan untuk tidak berbohong dan mengandalkan Tuhan, ternyata Tuhan siapkan yang terbaik. Saya bekerja di perusahaan ini hingga waktunya memutuskan bersama Guna untuk pulang ke Indonesia, dan saya melepaskan pekerjaan ini dengan sangat berat hati,” kenang Sadikin.
Bekerja untuk Ladang Papua
Selain aktif di ICF, saat kuliah dan bekerja Sadikin juga terlibat di Fellowship of Indonesian Christians in America (FICA), sebuah organisasi dengan visi melengkapi warga negara Indonesia di Amerika yang terbeban untuk berkontribusi membangun Indonesia sebagai panggilan Kristen. Beban inilah yang dibawa Sadikin ketika kembali ke Indonesia.
Sadikin berperan aktif di sistem teknologi informasi untuk bidang kesehatan dan terlibat dalam yayasan yang mengelola sebuah sekolah bernama Sekolah Anak Indonesia. Sekolah tersebut berfokus pada pendidikan anak Papua sekaligus menyediakan asrama bagi para siswa. Program pembelajaran yang dipakai adalah Pengkajian Budaya Papua dan Modernisasi (PBPM). SAI bekerja sama dengan Pemerintah Daerah Papua yang mengirimkan anak-anak untuk dididik lebih lanjut di sekolah ini. Saat ini ada sekitar 150 anak tinggal bersama guru-guru asrama yang membantu pertumbuhan iman mereka.
“Sangat challenging untuk membuat sebuah sistem pendidikan yang mampu membantu akselerasi ketertinggalan pendidikan anak-anak tersebut. Karena ada anak yang sama-sama tingkat 12 misalnya, tetapi ketika dites, beda banget tingkat pendidikan anak-anak tersebut. Ada yang ternyata di level kelas 6, ada yang di level kelas 10, dan seterusnya,” kata Sadikin.
Sejak 2014 usaha tersebut sempat mengalami krisis hingga lima kali, tetapi Tuhan tetap setia. Memang tidak mudah, tapi mereka berpegang teguh pada janji Tuhan untuk terus mencukupi dan membuka kesempatan pelayanan, selama mereka berjalan di jalur yang lurus.
“Bukan hal yang mudah untuk menceritakan perjalanan dan pelayanan ini, makanya saya nggak terlalu suka untuk cerita kecuali ke orang-orang terdekat, karena ada teman dekat juga yang ngatain kenapa sih kamu mau susah-susah begini. Kami juga tidak tahu ini akan berlangsung berapa lama, dan kesuksesan kami belum bisa diukur,” kata Sadikin. Namun, di balik kesulitan tersebut Sadikin mengaku, “Yah ada sukacita ketika ada beberapa anak yang berhasil masuk perguruan tinggi di Indonesia, seperti di ITB, IPB, Binus, Universitas Pelita Harapan, atau berhasil kuliah ke luar negeri.”.
Good and Faithful Servant
Ini merupakan ambisi dan cita-cita pribadi Sadikin. “Di dalam dunia, kita sering dinilai sesuai standar-standar dunia: kesuksesan usaha pekerjaan/ posisi, kekayaan material, popularitas. Padahal model orang Kristen adalah seperti murid-murid Tuhan Yesus, Rasul Paulus, yang taat menjalankan panggilan pelayanan hidup walaupun harus memilih hidup dalam kesulitan, penderitaan, dan kemiskinan. Kita seharusnya menjadi orang Kristen yang mau terlibat dalam hal-hal sulit tetapi berdampak untuk dunia yang lebih baik; menjadi garam dan terang dunia. Sulit karena saya sendiri sering bergumul untuk berani keluar dari comfort zone saya dan bersyukur sekali karena Guna sering mengingatkan saya dalam hal ini,” kata Sadikin menjelaskan.
Ada waktu ketika Sadikin ragu-ragu berangkat ke Papua untuk survei ke beberapa daerah pedalaman yang mengharuskannya naik pesawat capung dan pulang dengan bonus sakit malaria. “Ketika pulang dari Amerika, saya tidak pernah terbayang untuk terlibat dalam pelayanan untuk Papua, tapi kalau Tuhan yang buka jalan dan ada di hadapan saya sampai sekarang ini, ya saya berusaha lakukan semampu saya,” jelas Sadikin menutup perbincangan.
Mari belajar dari pribadi Pak Sadikin yang berani untuk melepas kenyamanan dalam melayani orang-orang yang membutuhkan. Terus semangat untuk Pak Sadikin dan teruslah menjadi hamba Tuhan yang baik dan setia.
No Comment! Be the first one.