Jadilah Pelaku Firman
Penulis: GI. Dessy Pane
Beberapa pakar menganggap surat Yakobus ditulis sebagai respons dari interpretasi yang salah akan pengajaran Paulus tentang iman. Penerima kitab ini mengalami disharmoni dalam kehidupan mereka karena diduga telah terjadi kesalahan fatal dalam mengimplementasikan kehidupan Kristen yang bertanggung jawab. Melalui suratnya; Yakobus hendak menekankan soal perbuatan baik sebagai buah dari pembenaran sehingga setiap orang percaya dituntut bukan hanya sekadar percaya, melainkan mampu menunjukkan imannya dalam kehidupan yang dijalani.
Yakobus 1: 22, “Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja ….”
Sebagai orang tua, kita sering menasihati anak-anak, “Jadilah anak yang dengar-dengaran Papa dan Mama!” Bahkan sebagai guru Sekolah MInggu, kita juga sering mengatakan kepada anak-anak, “Kita harus dengar-dengaran firman Tuhan!” Tentu makna pesan yang dimaksud bukan hanya meminta anak mendengar saja, tapi lebih dari itu yakni melakukan apa yang sudah didengar.
Ayat yang ditulis Rasul Yakobus ini menimbulkan dua pertanyaan yaitu:
- Apa yang salah dengan perihal “mendengar” dalam Yakobus 1 ini? (bandingkan dengan ayat 19, “Setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar …”).
- Bagaimana mungkin bisa melakukan firman tanpa mendengar? Bukankah iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran dari firman Kristus (Roma 10: 17)?
Ada dua kata yang hendak dikontraskan di dalam ayat ini yakni “pelaku” dan “pendengar”.
Pelaku (Yunani: poietes) 🡪 melakukan apa yang didengar (obedience).
Pendengar (Yunani: akroates) 🡪 mendengar tapi tidak melakukan (disobedience).
Apa yang didengar dan dilakukan jelas menunjuk kepada FIRMAN.
- 1: 18 🡪 the word of truth (firman kebenaran)
- 1: 21 🡪 the implanted word (firman yang tertanam)
- 1: 22 🡪 the word (firman)
- 1: 25 🡪 the perfect law of liberty (hukum sempurna yang memerdekakan)
- 2: 8 🡪 the royal law (hukum utama)
- 2: 12 🡪 the law of liberty (hukum yang memerdekakan)
Ayat-ayat yang mengkontraskan antara pelaku firman dan pendengar, bukan hanya ada di dalam surat Yakobus ini saja. Contohnya:
- Matius 7: 24–27
“Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu.” (ayat 24).
“Tetapi setiap orang mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir.” (ayat 27).
- Yehezkiel 33: 31
“Dan mereka datang kepadamu seperti rakyat berkerumun dan duduk di hadapanmu sebagai umat-Ku, mereka mendengar apa yang kauucapkan, tetapi mereka tidak melakukannya; mulutnya penuh dengan kata-kata cinta kasih, tetapi hati mereka mengejar keuntungan yang haram.”
Erik Weihenmayer adalah seorang pendaki gunung fenomenal dari Amerika. Ia adalah orang yang paling muda yang telah mendaki tujuh gunung paling tinggi di dunia, antara lain: Gunung McKinley, puncak tertinggi di Amerika Serikat, dan Gunung Kilimanjaro. Pada 25 Mei 2001, di usianya yang ke 33 tahun, ia mencapai puncak Gunung Everest. Suatu puncak yang tidak pernah dicapai oleh sembilan puluh persen orang yang mencoba mendaki Gunung Everest. Apa yang membuat Erik dikenal sebagai seorang pendaki yang fenomenal? Ia buta sejak usia tiga belas tahun! Erik menjadi penyandang cacat karena kehilangan penglihatan saat berusia tiga belas tahun akibat penyakit pada retinanya.
By Conkoch – Own work, CC BY-SA 4.0, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=64621660
Bagaimana orang yang buta dapat mendaki gunung tertinggi di dunia? Pada suatu hari ia menceritakan rahasianya. Ia telah belajar untuk mendengarkan dengan baik.
- Ia mendengarkan bel yang terikat di belakang pendaki gunung di depannya: Dia ikuti jalan yang harus ia tempuh.
- Ia mendengarkan teman pendaki gunungnya yang berteriak kepadanya: “Awas bisa jatuh mati dua langkah ke kanan”; maka ia hindari jalan yg bisa membawa celaka.
- Ia mendengarkan suara dari kapak esnya yang menembus es: Agar ia tahu apakah pijakannya aman atau tidak.
Jelas sekali bahwa mendengarkan dengan baik, bagi Erik Weihenmayer, adalah soal hidup dan mati.
Jika orang dunia menganggap hal mendengar dan mengikuti apa yang didengar dengan baik sedemikian penting bahkan itu menyangkut soal hidup dan mati, apalagi kita sebagai anak-anak Tuhan. Tentu tidaklah mudah untuk mendengar firman Tuhan dengan saksama (kecuali kita mendengar sambil lalu) apalagi sambil melakukannya di tengah dunia yang hiruk pikuk dan penuh dengan godaan ini. Tapi Yakobus mendorong pembacanya (termasuk kita pembaca saat ini) untuk melakukan dua pekerjaan penting ini: yakni mendengar dan melakukan.
Mengapa?
- Karena jika tidak melakukan firman yang sudah didengar itu sama dengan menipu diri sendiri (ayat 23b).
Contoh:
- Orang yang tahu bahwa mencuri itu dosa tetapi tetap melakukannya, berarti dia adalah korban penipuan atas diri sendiri.
- Orang yang tahu bahwa ibadah itu adalah sesuatu yang dikehendaki Tuhan, tetapi malas melakukannya atau kalaupun beribadah tapi tidak serius dan khidmat. Hal itu adalah penipuan atas diri sendiri juga.
Intinya: Tahu firman (karena pernah mendengar) tapi tidak melakukan firman yang didengar, itu sama dengan menipu diri sendiri!
Sebab jika seorang hanya mendengar firman saja dan tidak melakukannya, ia adalah seumpama seorang yang sedang mengamat-amati mukanya yang sebenarnya di depan cermin. Baru saja ia memandang dirinya, ia sudah pergi atau ia segera lupa bagaimana rupanya (Yakobus 1: 23–24).
Cermin itu akan “useless” jika kita tidak ingat bagaimana diri kita setelah kita bercermin.
Sebab jika seorang hanya mendengar firman saja dan tidak melakukannya, ia adalah seumpama seorang yang sedang mengamat-amati mukanya (his natural face) yang sebenarnya di depan cermin. Baru saja ia memandang dirinya, ia sudah pergi atau ia segera lupa bagaimana rupanya (23–24). Tetapi barang siapa meneliti hukum yang sempurna, … jadi bukan hanya mendengar untuk melupakannya, tetapi sungguh-sungguh melakukannya, ia akan berbahagia oleh perbuatannya (25).
Lupa atau forget (epilanthanomai) bukan sekadar diartikan sebuah kegagalan untuk mengingat, tapi ‘membiarkan’ sesuatu mengambil atau merebut perhatian yang seharusnya. A “forgetful hearer” is describing “the one who hears but does not pay any attention or allow it to change behavior patterns” (seorang ‘pendengar yang pelupa’ menggambarkan seseorang yang mendengar, tetapi tidak memperhatikan atau membiarkan hal itu mengubah perilakunya).
Sama seperti halnya kita mendengar khotbah seseorang dan mengatakan khotbahnya bagus. Tapi hanya sampai pada kekaguman, dan firman yang didengarnya tidak mengubah perilakunya. Itu sama dengan “forgetful hearer”. Atau ketika kita pulang Ibadah dan kita membiarkan atau mengizinkan rutinitas atau kesibukan mengambil alih atau merebut perhatian dari firman yang kita dengar, itu juga sama dengan “forgetful hearer”. Ingat, cermin itu akan “useless” jika kita tidak memakainya untuk tujuan yang seharusnya cermin itu dibuat.
Kesimpulan yang pertama: Jika kita tidak melakukan atau mengabaikan firman yang sudah didengar maka itu sama dengan kita menipu diri sendiri.
- Jika melakukan firman yang sudah didengar, maka hidup akan bahagia (25).
Tetapi barang siapa meneliti hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang, dan ia bertekun di dalamnya, jadi bukan hanya mendengar untuk melupakannya, tetapi sungguh-sungguh melakukannya, ia akan berbahagia oleh perbuatannya (Yakobus 1: 25).
Kata “berbahagia” diterjemahkan “transcendent happiness or religious joy”.
Semua manusia tentu ingin bahagia dan mencari kebahagiaan (mulai dari karier atau studi sampai keluarga). Itu sebabnya tidaklah heran banyak orang yang rela melakukan apa saja agar bisa bahagia. Persoalannya adalah manusia ingin bahagia dengan mencari kebahagiaan itu dari luar: misalnya saja dengan harta benda yang berlimpah, makanan yang enak dan mahal, menyalurkan hobi, menghabiskan waktu dengan liburan, shopping, jalan-jalan, kekuasaan atau jabatan yang tinggi, bahkan mencari kebahagiaan melalui banyaknya pelayanan.
Namun kebahagiaan yang Yakobus maksudkan di sini adalah menerima dengan lembut firman yang tertanam di dalam hatinya (implanted word, 21), lalu meneliti dan mempelajarinya dengan tekun, sehingga terdorong untuk melakukan firman itu dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian, dia mengalami kepuasan dan sukacita.
Lalu dilanjutkan dengan ayat 26–27, yaitu cara bagaimana melakukan firman yang dikaitkan dengan relasi horizontal: bijak berkata-kata, menolong dan mempedulikan orang lain yang kesusahan, menjaga hidup kudus. Di pasal kedua dan awal pasal ketiga, ia membahas soal keadilan sosial dan iman yang dibuktikan melalui perbuatan. Bahkan Yakobus mengakhiri suratnya dengan menguatkan orang Kristen untuk bersabar dalam penderitaan, mendoakan dan mengasihi satu sama lain, dan memperkuat iman melalui persekutuan.
Ketekunan kita meneliti firman yang kita cintai akan mendorong kita untuk melakukannya—sama seperti orang yang sedang jatuh cinta, yang terlihat dari aura wajah dan perilakunya yang rela melakukan apa saja untuk kekasihnya.
Sebagai murid Kristus, kita hidup bukan untuk diri sendiri saja, namun juga hidup untuk orang lain.
Kesimpulan yang kedua:
Jika kita melakukan firman yang sudah didengar dengan dibuktikan melalui relasi kita dengan sesama—bagaimana kita memperlakukan mereka, maka hidup kita akan bahagia (sukacita yang dikaruniakan dari Allah).
Kita tidak buta untuk membaca Alkitab (firman). Kita tidak tuli untuk mendengar firman. Kita punya mulut, tangan dan kaki untuk melakukan firman Tuhan. Yesus menyatakan bahwa, “mereka yang mendengarkan firman Allah dan melakukannya” akan menjadi dekat dengan Yesus seperti anggota keluarga-Nya sendiri (Lukas 8: 23, “Ibu-Ku dan saudara-saudaraKu ialah mereka, yang mendengarkan firman Allah dan melakukannya”).
Mendengar dan melakukan firman Tuhan tidaklah mudah, tapi bukanlah hal yang mustahil untuk dikerjakan.
Amin. Tuhan memberkati!
***
Penulis adalah hamba Tuhan yang melayani di GKY Pos Pamulang.