Mendengar dan menuliskan kisah hidup Jeanne Pattisina membuat penulis merenungkan bagaimana tangan Tuhan bekerja dan membentuk seorang anak yang Ia kasihi dengan sangat detil. Bahwa tidak ada satu peristiwa sepanjang hidupnya yang kebetulan; semua dalam rencana dan anugerah Tuhan. Bahkan di titik terendah dan momen tersedih sekalipun, tangan Tuhan tidak pernah lepas menggenggam tangannya. Tuhan tidak membiarkan anak-Nya terluka apalagi terpuruk.
Di usia 76 tahun, perempuan yang akrab disapa Syane ini boleh dibilang sudah kenyang dengan berbagai pengalaman hidup dan “pencapaian” yang memuaskan hatinya. Bukan soal materi, tetapi tentang kerinduan hatinya. Mulai dari kerinduan menceritakan tentang Tuhan kepada masyarakat suku asli, keinginannya mendalami kekristenan yang membawa dia menjalani sekolah teologia, juga petualangannya bersama putrinya menjelajah Eropa, yang kemudian ia tuangkan menjadi sebuah buku.


Lahir dari keluarga Kristen di Tomohon, Manado, Jeanne tumbuh besar bersama adik perempuan yang terpaut usia 10 tahun. Di usia 22 tahun, Jeanne menyelesaikan kuliah dan memperoleh gelar Sarjana Muda. Ia berencana melanjutkan studi di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) di Bandung. Namun, saat mengetahui ada saudara yang mulai bekerja di sebuah bank di Balikpapan, Jeanne jadi tertarik untuk bekerja juga. Ia lantas mencoba melamar pekerjaan di Union Oil, sebuah perusahaan minyak di Balikpapan. Jeanne kemudian dipanggil untuk wawancara dan lulus.
Dalam pesawat yang membawanya ke Balikpapan, Jeanne muda yang saat itu sudah menerima Tuhan secara pribadi, berdoa dan meminta supaya ia bisa tetap melayani Tuhan di tempat baru, sekecil dan sesederhana apapun bentuknya.
“Waktu saya ke gereja GPIB, ada pengumuman bahwa mereka membutuhkan Guru Sekolah Minggu. Kebetulan saya pernah mengajar di Sekolah Minggu, jadi saya mendaftar dan diterima. Saya sangat bersukacita karena hal itu sudah saya nantikan cukup lama,” kata Jeanne.
Jeanne pun mulai mengajar anak praremaja usia 8-12 tahun, yang kebanyakan adalah anak laki-laki. “Saya tidak pernah punya pengalaman mengajar anak-anak yang aktif dan nakal seperti itu, jadi saya harus mengakui bahwa saya cukup kewalahan dan perlu teman, sehingga saya lapor kepada majelis,” ujar Jeanne sambil tertawa.
Lalu hadirlah seorang pemuda asal Ambon lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang kalem dan sangat bagus dalam mengajar karena pernah menjadi koordinator Guru Sekolah Minggu di Bandung. Mereka pun melayani bersama dan menjadi panitia di berbagai kegiatan gereja. Hingga akhirnya, setahun berselang, pada Juli 1974, mereka menikah. Mereka dikaruniai dua orang anak: Edna Caroline Pattisina dan Steven Samuel.
Lima tahun menikah, kehidupan mereka terguncang saat suami Jeanne didiagnosa menderita kanker liver. Tuhan lalu memanggil pulang sang suami setelah menahun berjuang melawan penyakit. Edna dan Steven masih berusia sembilan dan lima tahun ketika itu. Di masa duka, ayah Jeanne memberikannya sebuah ayat Alkitab yang menguatkan hatinya: “Bapa bagi anak yatim dan Pelindung bagi para janda, itulah Allah di kediaman-Nya yang kudus.” (Mazmur 68:6)
Dengan duka mendalam dan dalam kondisi terpukul, Jeanne membawa kedua anaknya pulang ke Manado. Namun ternyata tak semudah itu mendapatkan pekerjaan di Manado. Jeanne pun nekat berangkat ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Ia menghubungi teman almarhum suaminya, sesama lulusan ITB, yang langsung menyebarkan informasi ke jaringan alumni.
“Sangat bersyukur hanya dalam waktu empat hari saya sudah bisa masuk kerja dan training komputer,” ujar Jeanne.
Beberapa waktu kemudian, Jeanne dipanggil untuk bekerja di Overseas Missionary Fellowship (OMF) Jakarta. Mereka membutuhkan staf yang mengerti komputer. Ia cukup terkejut ketika ditawari gaji yang sama besarnya dengan gajinya sewaktu bekerja di perusahaan minyak dulu. Karena sudah lebih stabil dalam pekerjaan, Jeanne lalu menjemput kedua anaknya untuk bersekolah di Jakarta.
“Bukan berarti saat itu uang gampang, tapi selalu ada cara Tuhan untuk mencukupi kebutuhan hidup kami sekeluarga,” kata Jeanne mengenang. Ia bekerja di OMF selama 15 tahun sampai Edna menamatkan kuliahnya di ITB.
Anugerah Tuhan sudah disediakan, tugas kita hanya bekerja dan berdoa.
Ajaib bagaimana Tuhan menyediakan berkat untuk Jeanne melalui berbagai cara. Sering ada permintaan dari seorang pengusaha untuk menerjemahkan surat-surat dalam bahasa Inggris. “Kalau pakai penerjemah resmi kan mahal, dan dia tahu bahwa saya bisa berbahasa Inggris karena lingkungan kerja saya banyak misionaris asing, dan mungkin juga sekalian mau menolong saya. Ya sudah, dimintalah saya,” kata Jeanne.


Jeanne mengenang cara Tuhan bekerja di luar kendali manusia. Saat duduk di bangku SMA, Edna harus mengambil les karena materi pelajaran di Santa Ursula cukup sulit. Ada satu mahasiswa Universitas Indonesia yang terkenal sebagai guru les dengan reputasi yang bagus, tapi mereka terlambat mendaftar dan sudah tidak ada slot lagi. Putri sulungnya menangis kecewa saat itu.
“Waktu itu saya hanya mengatakan, kita berdoa saja. Kalau memang Tuhan berkenan kamu les sama dia, lihat bagaimana Tuhan akan bekerja,” kata Jeanne.
Saat mereka dalam perjalanan untuk mendaftar ke guru les lain, mereka melewati rumah si guru pertama dan memutuskan untuk mampir. Tidak disangka, ada murid yang baru saja minta berhenti, sehingga ada slot kosong meskipun di jam yang agak malam. Jeanne langsung menyetujui dengan konsekuensi setelah pulang kerja masih harus antar-jemput les sampai jam 9 malam. Kemurahan Tuhan dinyatakan. Belum sempat les dimulai, ada murid di kelas jam 4 sore yang batal sehingga Edna mengisi slot tersebut.
“Itu contoh kecil, ketika kami mengalami kesulitan, banyak hal di luar kendali kami yang membuat kami hanya bisa berdoa. Banyak pergumulan dan kesulitan tapi dari situ anak-anak melihat pekerjaan Tuhan tiap-tiap hari,” ujar Jeanne.
Suatu hari ketika suaminya masih hidup dan akan terbang pulang ke rumah, langit sangat gelap dan hujan lebat. Edna berdoa sungguh-sungguh meminta agar hujan berhenti, karena ia khawatir dengan penerbangan papanya. Jeanne khawatir juga, kalau ternyata hujan tetap kencang, bisa mengguncang iman seorang anak kecil karena seolah Tuhan tidak mendengarkan doa. Namun kekhawatiran itu hilang ketika tiga jam sebelum pesawat mendarat, langit mendadak cerah dan terang.
“Dia langsung teriak, ‘Hore! Itu Tuhan dengar doa Edna.’ Saya bilang, ‘Ya memang Tuhan berkuasa, tapi semua tergantung apa yang Tuhan berkenan ya…’ Saya belajar juga hari itu, bahwa saya enggak boleh mengatur iman anak-anak,” Jeanne berkisah.
“Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.” (Ibrani 13:6b)
Kepahitan hidup juga pernah ia rasakan, terutama ketika anak-anak masih bersekolah. “Saya tutup pintu kamar dan menangis keras-keras pada Tuhan, karena banyak kebutuhan anak-anak dan saya enggak ada uang,” kata Jeanne.
Pernah suatu kali sekolah Steven membuka kesempatan untuk pergi ke Bali tetapi Jeanne tidak ada uang, sehingga tidak bisa memenuhi keinginan anaknya. Namun ternyata ada salah satu teman Steven yang mendadak tidak jadi berangkat dan akhirnya malah mengajak Steven untuk menginap di vilanya di Puncak.
Kali lain, ia harus membayar kebutuhan kaos olahraga Steven padahal belum waktunya gajian. Jeanne lalu minta izin pada sekolah untuk membayar setelah gajian. Ternyata di situ pun ada pertolongan dari guru olahraga yang membayarkan secara diam-diam.
“Makin besar anak-anak, ongkos makin banyak. Jadi selain kerja di OMF, saya sempat bikin kue kalau malam. Hidup memang cukup susah, tapi anak-anak tahu betapa saya bergantung sama Tuhan sepenuhnya,” ujar Jeanne sambil tersenyum.
Setelah Jeanne tidak bekerja, ia ikut melayani bersama temannya yang adalah seorang misionaris ke Banjar, Samarinda, selama satu tahun. Di sini dia mengenalkan tentang Tuhan dan menceritakan Injil kepada suku asli.
Namun, ia merasa bersalah karena proses yang dia lalui kurang persiapan. Meski cukup lama bekerja di OMF dan banyak berhubungan dengan misionaris-misionaris, ia merasa tetap harus ikut training dengan serius. Rasa bersalah dan kerinduannya untuk lebih mendalami kekristenan mendorong Jeanne memutuskan untuk kuliah di Sekolah Tinggi Teologi Reformed Indonesia (STTRI), di usia yang tidak muda lagi, 58 tahun. Tidak mudah tentunya, tapi Jeanne sangat menikmati lima tahun sekolah di sana bersama teman-teman kuliah yang kebanyakan seusia anaknya. Tidak jarang juga ia menikmati perhatian dan kasih dari rekan-rekan kuliahnya.
“Mereka tahu saja dari pertanyaan yang saya lontarkan, bahwa saya kurang mengerti, tapi saya betul-betul menikmati kuliah ini,” kata Jeanne sambil tertawa.
Pernah satu ketika ia sakit kepala dan lama tidak membaik, hingga ia cek ke dokter mata. Namun ternyata penyebabnya bukan dari mata, dan oleh dokter mata dirujuk ke dokter lain yang kemudian menyarankan Jeanne untuk mengurangi beban kuliah. Itu juga yang menyebabkan ia lulus dalam lima tahun.
“Saya ambil mata kuliah Perjanjian Lama dari Ibu Inawati Teddy, tentang Yesus Kristus dari Pak Yuzo Adhinarta. Salah satu kelebihan yang memudahkan adalah saya mengerti bahasa Inggris, dan kelemahan saya adalah gampang lupa. Hari ini saya belajar dan hafal tapi besoknya waktu ujian kok bisa lupa …,” ujar Jeanne.
Selama kuliah di STTRI, Jeanne mengerjakan tugas kuliah praktik dua bulan melayani di Panti Jompo Muara Kasih di Billabong, Bogor. Namun, meski tugas kuliah praktik telah selesai, Jeanne tetap melayani seminggu sekali di tempat ini, bahkan sampai menginap. Ia membagikan pendalaman Alkitab untuk karyawan dan penghuni yang mau ikut pada malam hari, mengajak ibadah pagi, bahkan juga konseling di kamar-kamar untuk opa-oma yang tidak bisa ikut ibadah pagi maupun yang minta konseling. Semua ia kerjakan dengan semangat dan sukacita penuh.
Beberapa waktu lalu, di usia yang sudah tidak muda, Jeanne bersyukur karena punya kesempatan menikmati liburan bersama Edna ke Eropa. Ini merupakan hadiah dari kedua anaknya. Semangat dan keinginannya untuk terus belajar membuat Jeanne masih terus aktif mengikuti kegiatan di gereja dan retreat alumni STTRI.
Saat ini ia sangat terbeban untuk mendoakan misi dan penginjilan sehingga dapat memenangkan banyak jiwa untuk menerima Tuhan Yesus. Ia masih merasa bahwa ia belum melakukan yang maksimal untuk Tuhan. Kerinduan terbesarnya adalah agar dapat terus menjadi berkat dan membagikan pemikiran di manapun ia ditempatkan.
Pengalaman hidup selama ini membuat ia menyimpulkan bahwa dalam hubungan antarmanusia perlu diskusi dan komunikasi dengan lemah lembut. Bagi Jeanne, satu hal yang merupakan resep untuk hidup bahagia adalah bersyukur. “Tetaplah bersyukur, walaupun yang terjadi tidak selalu cocok dengan keinginan kita. Karena Tuhan yang mengendalikan semua kehidupan ini. Tuhan tidak pernah salah. Rencana-Nya kekal,” kata Jeanne menutup perbincangan.


BIODATA:
Nama Lengkap: Jeanne Pattisina R.
Nama Panggilan : Syane
Tempat/Tanggal Lahir: Tomohon (Sulut)/25 Feb.1949
Nama Suami: Alm. George Pattisina
Nama Anak:
- Edna
- Steven
RIWAYAT PENDIDIKAN:
SD – Manado
SMP – Manado
SMA – Manado
PERGURUAN TINGGI:
IKIP Manado – Sarmud Sekolah Theologia – S2
RIWAYAT PEKERJAAN:
- OMF INDONESIA – Jakarta : 15 thn
RIWAYAT PELAYANAN:
- Panti Jompo Billabong 4 thn
- Pengurus Lansia GPIB – GKY
***
No Comment! Be the first one.