Jika Tuhan Mahakuasa, maka Dia mampu mencegah kejahatan maupun penderitaan. Namun mengapa kejahatan dan penderitaan tetap ada?
Silogisme semacam ini muncul dari waktu ke waktu dan telah menuai berbagai respons. Ada yang apatis, ada juga yang akhirnya memutuskan untuk tidak lagi percaya kepada Allah. Sebuah realita yang sejatinya menunjukkan konsep teodisi yang tidak utuh dan proporsional.
Pertanyaan serupa juga pernah diajukan oleh seorang teolog feminis Dorothee Soelle. Menurutnya, kemahakuasaan Allah adalah sebuah konsep yang unacceptable – tidak dapat diterima. Perempuan berdarah Jerman tersebut menolak gagasan, sesederhana apapun, bahwa Tuhan adalah Mahakuasa. Lebih radikal lagi, Soelle menyatakan bahwa Allah yang tidak Mahakuasa adalah Allah yang Alkitabiah.
Soelle muda hidup di tengah berbagai penderitaan. Pertama, ia hidup di masa kekejaman Nazi dan pengeboman perang dunia kedua. Orang tuanya menentang apa yang Nazi lakukan, tetapi memilih untuk bersikap diam. Sikap itulah yang diturunkan kepada Soelle. Sejak kecil, Soelle harus diam di tengah gejolak hati nuraninya melihat penderitaan orang-orang Yahudi. Kedua, ia harus merelakan saudara laki-lakinya yang meninggal karena sakit. Ketiga, pergerakan Soelle muda begitu terbatas akibat budaya patriarki yang begitu kental di Jerman.
Soelle lantas menemukan kebebasan batin melalui tulisan-tulisan filsuf Soren Kierkegaard. Ia juga bertemu dengan tulisan-tulisan filsuf lainnya tentang penindasan maupun penderitaan yang kemudian membawanya masuk ke dalam aktivisme politik.
Rangkaian peristiwa dalam kehidupan Soelle membangun pemahamannya tentang dunia yang didefinisikan dengan kelaparan, perang, bom, patriarkal, dan kekerasan. Pemahaman ini pula yang menggiringnya berteologi di tengah keadaan yang tidak sempurna, sehingga teologinya terkesan lebih humanis dan sekuler.
Menurut Soelle, titik awal sebuah teologi adalah merasakan penderitaan orang lain dan membiarkan orang yang menderita membagikan rasa sakit mereka. Melalui berbagai peperangan dan penderitaan yang terjadi dalam kehidupan Soelle muda, terbukalah “jendela kerentanan” atau window of vulnerability bagi orang-orang yang ditekan oleh berbagai penderitaan. Kepedulian Soelle terhadap orang-orang termajinalkan membawanya melahirkan gagasan yang sangat kontroversial. Tak hanya menolak gagasan bahwa Tuhan itu Mahakuasa, Soelle juga mengkritik peran kepercayaan semacam itu dalam masyarakat.
Perlu digarisbawahi, penolakan Soelle terhadap kemahakuasaan Allah tidak dibangun di atas teologi feminisnya. Teologi feminis Soelle hanya muncul sebagai penolakannya terhadap citra maskulin Allah yang selama ini terbentuk oleh presuposisinya. Sementara, penolakan Soelle terhadap kemahakuasaan Allah dilatari oleh refleksinya akan apa yang terjadi di Auschwitz, salah satu simbol genosida yang dilakukan Nazi.
Sarah K. Pinnock, editor buku antologi The Theology of Dorothee Soelle, mengatakan, “… it was reflection on Auschwitz that spurred her to reject the notion of God who allows suffering for good reasons and a God who has the power to intervene but stands aloof and merely watches the annihilation of life.” (Refleksi akan Auschwitz-lah yang mendorong Soelle menolak gagasan bahwa Tuhan membiarkan penderitaan demi alasan yang baik dan Tuhan yang berkuasa untuk mengintervensi tapi malah berdiri menjauh menyaksikan pemusnahan.)
Soelle menyimpulkan, konsep Tuhan yang Mahakuasa tidak dapat diterima. Ia sampai pada pemikiran bahwa Allah bersikap acuh tak acuh terhadap penderitaan. Maka dari itu, Allah yang tidak Mahakuasa hadir sebagai konsep alternatif bagi orang-orang Kristen.
Soelle menolak kemahakuasaan Allah dengan tujuan untuk mengubah pandangan umat percaya terhadap Allah. Ia bermaksud mengubah citra Allah yang tidak berperasaan, jauh, apatis, tidak berminat terhadap ketidakadilan dan penderitaan di dunia, menjadi Allah yang menderita bagi semua. Ia berniat menunjukkan bahwa kepercayaan pada Tuhan yang acuh tak acuh menghasilkan apatisme di dalam diri umat percaya. Sebaliknya, percaya pada Tuhan yang secara aktif khawatir tentang kesejahteraan ciptaan-Nya dan yang memilih untuk berbagi penderitaan justru cenderung memotivasi umat percaya untuk mengatasi penderitaan dan kejahatan di dunia.
Apakah konsep Soelle benar? Apakah mengesampingkan kemahakuasaan Allah adalah Alkitabiah? Atau, apakah benar Allah tidak Mahakuasa?
Ada dua permasalahan dalam reduksi kemahakuasaan Allah yang diutarakan Soelle. Pertama, Soelle memandang penderitaan terlalu humanis. Kedua, Soelle mendefinisikan kemahakuasaan Allah dengan kurang tepat.
Mari kita bahas poin pertama. Soelle memandang penderitaan terlalu humanis dan melupakan aspek “kebaikan” dari sebuah penderitaan, yakni bertumbuhnya iman percaya kepada Allah. Allah tidak menciptakan, mengirimkan, mengizinkan, bahkan menggerakkan orang lain untuk melakukan kejahatan. Alasan agung adanya penderitaan adalah supaya Kristus dapat menunjukkan kebesaran kemuliaan anugerah Allah. Penderitaan malahan hadir untuk memperdalam umat percaya dalam iman dan kekudusan.
Dilihat dari perspektif injili, penulis dan mantan dosen teologi Pdt. Paulus Daun memaparkan dua poin tentang kedaulatan Allah terkait penderitaan manusia. Pertama, kedaulatan Allah berkaitan dengan keputusan-Nya yang tidak boleh diartikan sebagai arogansi atau kesewenangan Allah, sebab Dia juga adil dalam kedaulatan-Nya. Allah berdaulat penuh, tetapi di sisi lain, apa yang diputuskan dan ditentukan-Nya tidak berlawanan dengan keadilan-Nya.
Kedua, kedaulatan Allah tidak melanggar ketetapan yang telah ditentukan-Nya. Atas paham mengenai kedaulatan Allah, kaum Injili kemudian menganggap setiap penderitaan dan bencana yang terjadi berada dalam kehendak dan kedaulatan Allah.
Jadi, alih-alih mereduksi kemahakuasaan Allah, ada baiknya kita melihat penderitaan dari kacamata Allah. Mungkin, beberapa kalangan saat ini percaya bahwa Tuhan itu lemah, dalam arti bahwa Dia tidak dapat melakukan apa yang Dia ingin lakukan. Namun, Alkitab tidak mengajarkan kelemahan Allah dalam pengertian demikian.
Kuasa Tuhan bekerja sesuai dengan kehendak-Nya. Allah bukanlah pribadi yang tidak berkuasa untuk mengangkat tangan-Nya demi menolong umat-Nya. Dia tidak duduk di tahta-Nya sambil meremas kedua tangan-Nya dalam kesedihan dan keputusasaan. Ketika mengalami pencobaan yang amat sangat sakit, terkadang memang sangat menggoda untuk meragukan kemahakuasaan dan kasih Allah. Keraguan demikian sangat memalukan.
Masalah kedua adalah pandangan Soelle yang kurang jelas terhadap kemahakuasaan Allah. Penting untuk mengenal apa itu kemahakuasaan Allah yang Alkitabiah. Berdasarkan konsep
C. S. Lewis seperti dipaparkan dalam bukunya The Problem of Pain, pengaplikasian kata “kemahakuasaan” pada Allah dalam relasi dengan hukum Allah yang Allah ciptakan tidak sama dengan yang dimiliki kebanyakan orang atau dalam makna populer.
Bagaimana kemudian umat percaya dapat mendefinisikan kemahakuasaan Allah? Kemahakuasaan merujuk pada Allah mampu melakukan apa saja, namun sesuai dengan sifat- Nya. Seperti yang dituliskan oleh John M. Frame dalam bukunya The Doctrine of God: “His power is defined by His whole nature… But His whole nature should be defined as power, for power is not ultimately something abstract, but a concrete divine person. God’s power is everything that He is; all His attributes manifest His power.” (“Kuasa-Nya ditentukan oleh seluruh sifat-Nya… Namun, seluruh sifat Allah harus didefinisikan sebagai kuasa, sebab kemahakuasaan pada dasarnya bukanlah sesuatu yang abstrak, melainkan pribadi ilahi yang nyata. Kuasa Allah adalah seluruh keberadaan-Nya; seluruh sifat-Nya menunjukkan kekuasaan-Nya.”)
Allah berkuasa melakukan segala sesuatu sejauh tidak bertentangan dengan natur Allah. Mengutip C. S. Lewis, “His omnipotence means power to do all that is intrinsically possible, not to do the intrinsically impossible. You may attribute miracles to Him, but not nonsense. This is no limit to His power.” (“Kemahakuasaan Allah berarti kuasa untuk melakukan segala hal yang memang pada hakikatnya mungkin, bukan melakukan hal yang pada hakikatnya mustahil. Anda dapat mengaitkan Allah dengan kejaiban, tapi tidak dengan omong kosong. Hal ini bukanlah batas kekuasaan Allah.”)
Pada akhirnya, tidak ada sesuatu yang lebih tinggi dari Tuhan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan kemahakuasaan-Nya. Sudah seharusnya umat percaya perlu untuk mendefinisikan kemahakuasaan dengan lebih objektif dengan melihat kemahakuasaan Allah secara lebih jelas.
Jadi, apakah pandangan Soelle benar dan Alkitabiah? Tentu tidak. Tujuan Soelle mereduksi Allah memang baik. Namun, umat percaya sudah seharusnya menolak mentah-mentah konsep Allah tidak Mahakuasa, karena pada akhirnya pemahaman demikian akan dikuasai kegelisahan bahwa Allah tidak sepenuhnya mengendalikan dunia ini.
Ketika kesusahan besar menghalang, yang kita butuhkan bukanlah mencoba membangun sosok Allah yang cocok dengan pikiran kita untuk kita jadikan tumpuan iman kita. Sebaliknya, kita perlu menyesuaikan respons kita kepada Allah yang Alkitab tunjukkan kepada kita.
Penderitaan semestinya menjadi jembatan agar umat percaya semakin jelas melihat Allah. Penderitaan sama sekali tidak menandakan ketidakhadiran dan ketiadaan penyertaan-Nya, melainkan merupakan tempat di mana Ia datang menjumpai, ikut merasakan, bersekutu, dan menyertai kita, anak-anak-Nya.
Pada akhirnya seperti teolog R.C. Sproul menuliskan, “Tidak ada orang yang pernah diminta Allah untuk menderita lebih berat daripada penderitaan yang Allah limpahkan kepada anak tunggal-Nya.”
Mazmur 34:19-20 menuliskan, “Tuhan itu dekat kepada orang-orang yang remuk hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang patah semangat. Kemalangan orang benar banyak, tetapi Tuhan melepaskan dia dari semuanya itu.”
***
Tentang Penulis
Nadia Natasha Gunawan menyelesaikan studi teologinya di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Sejak Februari 2024, ia ditugaskan di GKY BSD dan bertanggung jawab sebagai pembina dalam pelayanan anak GKY BSD.
REFERENSI
Jika Ada Tuhan, Mengapa Ada Kejahatan? – Emanuel Bria
Seputar Masalah Kedaulatan Allah dan Tanggung Jawab Manusia – Paulus Daun
Diversity, Harmony and in the End, Justice: Remembering Dorothee Soelle – Mary C. Grey
Penderitaan dan Kedaulatan Allah – John Piper dan Justin TaylorThe Omnipotence of God – Howard A. Redmond