Awal Juni lalu, dalam rangkaian pengajaran “The Jesus Way” yang menjadi tema besar GKY BSD 2025, Pdt. Tommy Elim menyampaikan khotbah berjudul “Moved by Compassion”. Beliau mengupas teladan Yesus yang begitu peka dan berbelas kasihan. Dalam obrolan dengan Lislianty Lahmudin dari redaksi Nafiri, Mushi Tommy membahas lebih jauh tentang panggilan orang Kristen untuk menunjukkan belas kasihan di tengah zaman yang semakin individualistis.
Apa yang mendasari Mushi Tommy mengupas tema “Moved by Compassion”?
Saya ingin jemaat bersama-sama melihat perjalanan hidup Yesus itu seperti apa. Inilah contoh bagi kita, ketika Yesus berinteraksi dengan orang lain, Ia begitu peka terhadap kebutuhan orang lain. Ia melihat orang itu seperti domba yang tidak bergembala. Ketika manusia “lelah”, Ia tergerak hatinya oleh belas kasihan. Perjalanan yang kita tempuh juga harus menunjukkan kepedulian terhadap orang lain. Terkadang kita berpikir bahwa untuk mengurus diri sendiri saja sulit, bagaimana bisa mengurus orang lain? Namun sebagai anak Tuhan kita harus juga peduli dengan orang lain.


Bagaimana Mushi melihat orang-orang pada umumnya terkait dengan rasa belas kasihan kepada sesama? Apakah kepekaan ini sudah luntur terkikis oleh zaman?
Harus diakui perjalanan rohani kita berada pada zaman yang “tidak menguntungkan”. Zaman dulu saya menonton televisi beramai-ramai dengan tetangga, bermain sama-sama. Hidup bersama secara sosial membawa kita lebih peduli dengan orang lain. Di zaman ini secara fisik kita memang bersama-sama, tetapi tiap orang punya kesibukan sendiri, terutama dengan gadget. Hidup individualistis semakin kuat. Hal ini tidak baik, karena sebenarnya kita dipanggil untuk hidup secara sosial, secara komunal.
Apakah kepekaan yang luntur tersebut juga terjadi di kalangan orang Kristen? Jika ya, mengapa bisa demikian?
Menurut berita di Kompas, 30 Juli 2025, disebutkan penduduk Yogyakarta dan Jakarta paling rentan kesepian, padahal seharusnya kedua kota besar itu tidaklah demikian. Hal ini mengonfirmasi lunturnya compassion. Kita menjadi orang yang terisolasi, hidup sendiri. Loneliness menjadi isu.


“Moved by Compassion” bukan hanya dinyatakan dalam wujud materi menolong orang lain, tapi juga dalam bentuk emosional, di mana kehadiran kita menemani orang lain. Di dalam gereja kerap kali kita berkumpul dengan orang-orang yang sama, duduk di tempat yang sama dengan orang yang sama. Marilah mulai peduli terhadap orang sekitar, melatih diri untuk menyapa, memperhatikan orang di sekitar kita.
Bisa diceritakan contoh yang Mushi pernah alami ketika hati Mushi tiba-tiba “Moved by Compassion”? Bagaimana menerapkan sikap “Moved by Compassion” tersebut?
Menurut saya, moved by compassion harus berawal dari dalam diri saya sendiri, bagaimana saya melihat dan menempatkan diri di tengah jemaat. Saya bukanlah pribadi yang untouchable. Saya rindu jemaat yang membutuhkan penggembalaan saya, bisa mengontak saya tanpa segan, bisa berinteraksi dengan saya dengan leluasa. Saya ingin kehadiran saya bersama jemaat menjadi bukti nyata bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan mereka, dan di sinilah mereka mengalami belas kasihan Allah melalui diri saya.
Fakta bahwa jumlah jemaat begitu banyak menyebabkan saya tidak bisa menjangkau semuanya. Saya hanya berpikir untuk memulai dari apa yang ada di depan mata saya. Mungkin hanya dengan mengambil waktu berbicara dan memperhatikan dengan lebih dalam satu atau dua jemaat setiap minggunya. Itu akan menjadi sarana moved by compassion yang direalisasikan. Sesungguhnya ada begitu banyak jemaat yang membutuhkan di sekeliling kita.
Saya juga mengimbau para Hamba Tuhan untuk menyapa dan berbaur dengan jemaat, misalnya di jeda antara kebaktian umum (KU) 1 dan 2. Doing small things. Better doing something than doing nothing. Contoh simpel di saat saya melihat seorang anak kecil di kantin Philia, saya tergerak untuk menyapa dan merangkulnya, mengobrol dan bercanda dengannya. Jadi moved by compassion itu bisa dilakukan setiap saat dan dengan hal yang kecil dan sederhana.
Apakah orang-orang Kristen yang tidak punya kepekaan berbelas kasihan kepada sesamanya tidak akan mewarisi Kerajaan Surga ? (Dikaitkan dengan perumpamaan Tuhan Yesus: “Ketika Aku lapar engkau tidak memberi Aku makan…” dan Tuhan mengusir mereka “Enyahlah dari hadapan-Ku…”)
Tanda orang yang masuk Kerajaan Surga pasti ada “buah-buahnya”. Salah satu buah tersebut adalah compassion, sehingga orang percaya yang akan mewarisi Kerajaan Allah harus menunjukkan compassion atau belas kasihan bagi orang lain. Namun berbicara mengenai buah, ada banyak variabelnya, yaitu berkaitan dengan compassion, pelayanan, kekudusan hidup, penguasaan diri, kesabaran, dan lain-lain. Jadi di sisi lain, janganlah menghakimi orang kalau tidak punya compassion maka tidak mewarisi Kerajaan Allah. Karena bicara tentang mewarisi Kerajaan Surga adalah karena iman kepada Kristus. Keselamatan adalah karena iman, tetapi iman itu juga hidup dan ternyatakan melalui buah.
Variabel buah juga dinyatakan dalam skala kematangan buah yang bervariasi. Misalnya ada skala 1-10 berkaitan dengan compassion. Katakanlah skala 9 ditujukan bagi Mother Teresa, sedangkan saya skalanya berapa? Mungkin hanya 5 atau 6, orang lain bisa saja hanya 3 atau 4? Yang terpenting di sini adalah bagaimana orang itu bisa bertumbuh, dari nilai tersebut terus meningkat.
Jika seseorang berada dalam keluarga yang mendukung dan memiliki relasi antarsesama yang sehat, maka akan dengan mudah menyatakan compassion atau belas kasihan. Hal ini akan berbeda dengan orang yang sejak dulu dalam keluarganya memang berjuang sendirian tanpa ada yang peduli padanya.
Intinya adalah compassion itu harus bertumbuh setelah seseorang berjumpa dengan Kristus, dan jangan buru-buru menghakimi orang lain.
Mengapa orang-orang yang beragama lain, misalkan Budha, begitu terlihat kepekaan mereka dalam menolong sesamanya, sedangkan orang-orang Kristen seolah-olah “kalah” dalam gerakan ini dibandingkan mereka?
Tindakan compassion atau belas kasihan dari kelompok agama lain sebenarnya di digerakkan oleh berbagai alasan. Di sinilah pentingnya akar dari compassion, mengapa kita orang Kristen melakukan belas kasihan tersebut. Sebenarnya fakta bahwa kita sudah mengalami dan mewarisi Kerajaan Allah haruslah terpancar melalui tindakan compassion yang nyata. Berbicara tentang C-Movement, awalnya harus dimulai dari with Christ, dan kemudian barulah bisa berbuah baik. Ini memang menjadi PR besar bagi orang percaya, dan bahkan kita harus mengakui dan malu oleh karena compassion kita kalah dibandingkan dengan orang-orang yang tidak mengasihi Allah dan mengalami keselamatan.
Dalam menerapkan “Moved by Compassion” ini, bagaimana kita mengetahui bahwa apa yang kita lakukan bagi orang lain (yang tampaknya susah dan perlu ditolong) tidak dimanfaatkan oleh mereka yang sebenarnya justru tidak perlu kita tolong?
Sebuah pelayanan diakonia harus menjadi sebuah tindakan compassion yang holistik. Gereja dan setiap orang percaya perlu melakukannya dengan berhikmat. Saya bersyukur majelis di sini cukup berhikmat dalam menilai siapa yang memang perlu ditolong. Keberadaan gereja adalah perpanjangan tangan Tuhan; belas kasihan Tuhan dinyatakan melalui gereja atau orang percaya.
Namun yang juga harus diperhatikan adalah jangan sampai ketika menghadapi orang-orang yang memang “memanfaatkan” belas kasihan kita, lalu kita akhirnya stop menolong dan tidak menunjukkan belas kasihan sama sekali. Terkadang lebih baik kalau sampai kita tertipu sekalipun, tetapi kita tetap melakukan tindakan belas kasihan.
Jadi jangan karena takut tertipu lalu stop menolong. Moved by compassion harus terus ada dan dinyatakan dalam dunia. Sebaliknya, mereka yang menipu, biarkan menghadapi dosanya sendiri dan akan bertanggung jawab di hadapan Allah. Inilah keseimbangan antara hikmat ilahi dan tindakan compassion dalam kehidupan nyata.
Bagaimana kita melakukan perintah Tuhan dengan hati yang tulus tanpa motivasi pamrih. Misalnya agar dipuji orang, berharap kelak akan mendapatkan balasan, dan sebagainya?
Yesus berkata dalam Matius 6:3-4 “Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.”


Tuhan tahu apa yang kita lakukan. Tidak perlu “memberitakan” perbuatan baik kita. Kita harus berhati-hati dengan keinginan kita untuk diakui dan dihargai, karena yang terutama adalah Tuhan tahu dan itu lebih dari cukup.
Hal terpenting dalam mengalirkan belas kasihan pada orang lain adalah kita harus semakin ingat akan berbagai kebaikan dan kasih Tuhan atas kita. Hati yang bersyukur akan kasih Tuhan yang melimpah dalam hidup akan menggerakkan kita untuk menyatakan belas kasihan atau compassion pada orang lain.
Mata yang tajam, yang bisa menghitung berkat Tuhan hari demi hari, akan mendatangkan hati yang bersyukur. Dan itu akan terekspresikan dalam tindakan nyata, yakni belas kasihan. Di sinilah kita akan melayani dan mengasihi Tuhan dan sesama lebih daripada waktu-waktu sebelumnya.
Inilah “The Jesus Way”. Ketika kita sungguh-sungguh mengalami “With Christ”, peka terhadap kebaikan dan kasih Tuhan yang melimpah, maka hati kita akan melimpah dengan ucapan syukur dan tindakan belas kasihan sehingga Kristus akan semakin terpancar dan menggerakkan hidup kita. Inilah “For Christ” yang terjadi karena kita selalu “With Christ” yang menjadikan kita “Like Christ”.
***
No Comment! Be the first one.