Mati Gaya
Penulis: Humprey
“Buseeeetttt dahhhhh,” gue mati gaya nih, keluh seorang karyawan yang sedang menjaga sebuah kios pulsa seluler. Mau ngapa-ngapain aja bingung, listrik mati, hape (handphone) lowbat, pulsa cekak, gajian masih lama. Hueeehhhh mau ngapain guaa coba???
Mati gaya bukanlah suatu arti mati alias meninggal seperti yang umum terjadi dalam siklus hidup manusia. Bukan kematian secara fisik yang merupakan akhir jiwa manusia, namun hanya merupakan keadaan dimana seseorang tidak memiliki kesanggupan untuk berbuat, kehabisan ide atau akal, tidak berkutik dan sebagainya. Istilah mati gaya dalam bahasa Indonesia merupakan gaya bahasa pergaulan yang berkembang di masyarakat sehingga belum masuk ke dalam kosakata bahasa Indonesia resmi. https://www.kanalinfo.web.id/apakah-arti-mati-gaya
Mau tahu apa contohnya? Kebetulan bulan Oktober 2019 saya menghadiri pernikahan teman baik saya di Belitung (Belitong). Berhubung ini pertama kalinya saya pergi ke pulau tersebut, saya memang belum memahami kondisi wilayah tersebut, dan memang saat itu saya tidak banyak browsing untuk mencari info di internet. Karena kali ini saya hanya pergi seorang sendiri tanpa keluarga, saya memutuskan hanya pergi pp (pulang pergi), pergi pagi pulang sore.
Sesampainya saya di bandara Belitong, kalau ga salah namanya bandara H.A.S. Hanandjoeddin, saya dan seorang teman yang kebetulan bertemu di bandara sama-sama dijemput oleh seorang sopir yang disiapkan oleh teman saya. Kesan pertama saya, kotanya tenang sekali dan jalannya berliku-liku serta panjang-panjang ya … asyik juga … haha ….
Tapi … mau ngapain aja ya kalau berada di kota ini lama-lama? Karena saya tidak memesan hotel, dan kebetulan teman saya memesan hotel, kami diantar langsung ke hotel tersebut. Saya menunggu di lobi, dan ternyata teman saya yang katanya menaruh barang di kamar jatuh tertidur. Oke, tiga puluh menit belum turun juga nih, mobil yang tadi mengantar sudah jalan kembali untuk mengurus berbagai keperluan teman yang hendak menikah. Lalu mau ngapain gue di sini yah? Oh nge–charge hp dulu deh di lobi … hehe ….
Hmmm … satu jam teman saya masih belum turun juga dari kamar hotel. Oh ya ini hotelnya di pinggir pantai ya, Pantai Tanjung Kelayang kalau ga salah ingat. Denger-denger sih ada ojek online sini, coba gue pesan ah tuk jalan-jalan ke kota. Pertama kita coba si Gojek, oke deh aplikasinya tampak menghitung biayanya … wew … 120 ribu, ok daripada di sini ga bisa ngapa-ngapain alias mati gaya, kita coba deh. Wah ternyata aplikasinya muter-muter doang, alias ga dapat-dapat pengemudi yang mau ambil rute tersebut. Kita coba aplikasi ojek online si Grab, ehmmm … sama aja, ga dapat-dapat pengemudi alias ga nongol-nongol di layar hp pengemudi ojeknya … gawat … bisa mati gaya nih lama-lama … wkwkwkwk ….
Akhirnya teman saya yang hendak menikah mengirimkan mobil yang bisa kami pinjam sejenak sebelum acara pernikahan. Horee … kami pikir asyik juga keliling-keliling nih sambil nunggu. Tapi lalu dia bilang, tolong isikan bensin ya, kemarin belum sempat, udah kritis nih. Baiklah, gue pikir, ga masalah. Pertanyaannya di mana pom bensinnya ya? Cari di Google Maps … ah ada. Sekitar tiga puluh menit kami mencari pom bensin … yeyyyy … ketemu …. Tapi mana petugasnya ya? Hanya ada sekitar lima puluh jerigen yang bertumpuk-tumpuk, tanpa ada yang menjaga. Seorang bapak yang kebetulan ikut menaruh jerigen, berkata, ”Oh biasanya petugas pom bensinnya datang siang Pak, bersama dengan bensinnya yang belum datang.” Alamakkk … ini bensin udah cekak … bisa-bisa pake bensin campur nih alias campur dorong alias mogok nih … beneran bingung mau ngapain … haha ….
Singkat cerita, akhirnya kami mencari lagi, di jarak 45 menit ada sebuah pom bensin mini, biasa disebut Pertamini, di sebuah warung … selamat deh … akhirnya bisa deh beli oleh-oleh dan muter-muter sedikit di Belitong. Di perjalanan sesudah acara pemberkatan dan sambil kembali menuju bandara, saya bertanya pada sopir yang tadi pagi mengantar kami …. ”Pak, kalau malam hari atau akhir minggu, orang-orang sini biasanya ngapain?” Di sini saya lihat banyak rumah-rumah walau jaraknya berjauhan, tapi orangnya kok ga ada yang keliatan? Sopirnya hanya tersenyum tanpa berkata apa-apa. Bawel kali pikirnya ini penumpang, pikir saya … haha
Eiittt … emangnya saya mau bahas tentang Belitong? Cek di Google aja ya kalau emang mau tahu detailnya ya hehe …. Ngomong-ngomong, pengalaman ampir mati gaya sehari ini membuat saya teringat dengan kegiatan dan keadaan kita di Jakarta. Sungguh jauh berbeda. Di Jakarta kita hampir ga mungkin mati gaya … malah bisa mungkin kebanyakan gaya. Kita bisa super sibuk, mal dan hiburan banyak sekali, serta apa pun serba ada. Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mengisi hari-hari kita, namun pertanyaannya, apakah yang justru kita isi? Belajar, bekerja, lalu apalagi lagi? Waktu rasanya cepat berlalu bila kita di Jakarta. Namun sudahkah kita mengisi waktu kita untuk beribadah, bersekutu dengan Tuhan, mohon pimpinan Tuhan?
“Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana,” demikian yang tertera di Mazmur 90: 12. Bila masyarakat di Belitong mungkin memiliki waktu yang lebih leluasa, kiranya kita yang di Jakarta dan sekitarnya senantiasa dapat membagi waktu untuk tetap dapat melayani-Nya. Daripada di waktu senggang, kita mati gaya, yuk kita bersaat teduh dan ikut persekutuan doa. Tuhan memberkati kita semua.
***