Sosoknya mulai dikenal sejak ditugaskan sebagai Hamba Tuhan penuh waktu di GKY BSD pada 1 Februari 2024. Sejak itu, penginjil muda ini terjun ke sejumlah bidang pelayanan di lingkungan GKY BSD dan menginisiasi beberapa program baru, antara lain di Komisi Pembinaan dan Pasutri.
GI Samuel Kurniadjaja lahir di tengah keluarga Kristen dan tumbuh besar di lingkungan Sinode Gereja Kristus Yesus (GKY) Jemaat Greenville, Jakarta. Bersekolah di Ipeka dan meraih gelar sarjana teologi dari Sekolah Tinggi Teologia (STT) Amanat Agung membuat GI. Samuel dikenal sebagai Hamba Tuhan yang “GKY banget”. Di GKY pula ia bertemu dengan Janet Jessica, istrinya, hingga dikaruniai seorang putra yang kini berusia tiga tahun.
Berikut adalah wawancara Nafiri dengan GI Samuel seputar perjalanannya dan upayanya menjadi Hamba Tuhan yang autentik.
Bisa diceritakan saat pertama Anda merasakan panggilan sebagai hamba Tuhan?
Ketika masa pra-remaja, ada kerinduan untuk membagikan Firman Tuhan. Namun di dalam keterbatasan saya saat itu, saya cenderung melihatnya dari sisi estetika atau superficial layaknya remaja labil yang berkata, “Keren ya, bila bisa berkhotbah di atas mimbar dengan menggunakan setelan jas.” Namun, kemurnian panggilan pelayanan saya semakin diperjelas setelah lulus Sekolah Tinggi Teologi, juga seiring saya melayani sebagai Hamba Tuhan penuh waktu di gereja.
Apakah ada pengalaman khusus selama pendidikan yang sangat membekas dan mempengaruhi pelayanan Anda?
Yang berkesan adalah ketika menjalani setiap sesi konseling dan percakapan pastoral, baik di STT Amanat Agung maupun di STT Reformed Indonesia. Melalui percakapan tersebut, saya dapat menemukan dan mengenal diri saya secara lebih jelas, dan akhirnya membawa saya untuk semakin mengenal Allah yang sungguh beranugerah dalam kehidupan saya.
Apa tantangan terbesar yang pernah Anda hadapi dalam pelayanan?
Ketika menghadapi kelemahan dan kerapuhan diri, juga saat menghadapi jemaat atau rekan pelayanan yang “kurang matang” atau “kurang sehat” secara emosi, sehingga tidak ada ekosistem yang kondusif untuk menunjang pertumbuhan rohani.
Apa momen paling berkesan atau penuh makna yang Anda alami selama melayani jemaat?
Ketika penginjil bersama jemaat awam mulai bersedia belajar menciptakan healing community dan soul companionship untuk saling memulihkan, menopang, dan menjaga satu sama lain. Atmosfer seperti ini jauh lebih kondusif ketimbang saling mencurigai satu sama lain dan menuntut dengan membawa-bawa predikat jabatan rohani yang melekat pada diri seseorang.
Bagaimana gaya dan pendekatan Anda dalam memimpin dan melayani jemaat?
Saya menempatkan diri tidak hanya sebagai spiritual leader, tetapi juga sebagai spiritual companion atau sahabat seperjalanan rohani bagi mereka yang saya gembalakan. Saya tetap memberikan ruang untuk terbuka dan “rapuh”, khususnya bagi jemaat yang merupakan closed circle saya.
Dengan demikian, mereka dapat melihat bahwa saya juga manusia terbatas yang lemah, tapi mau berjuang bersama mereka di dalam kelimpahan anugerah Allah. Sehingga, kuasa Allah akan sungguh terlihat di tengah realita pergulatan pribadi yang telah ditebus oleh Kristus tapi belum mencapai kesempurnaan. Pendekatan yang berhikmat tentu tetap diperlukan, karena tidak semua jemaat awam memiliki “kematangan” secara teologi dan rohani untuk mengerti dan terhubung dengan realitas ini.
Apa prinsip utama yang Anda pegang dalam menjalani pelayanan sebagai Penginjil?
Sebagai Teaching Elder, saya fokus terhadap panggilan khusus sebagai pelayanan firman, pastoral, dan doa; bersamaan dengan menjalankan “multiple role” sesuai momentum yang Roh Kudus berikan. Ada kalanya saya mengambil peran sebagai gembala yang memberikan nasihat dan teguran, pengajar yang mengarahkan rasionalitas dan pandangan umum jemaat agar sesuai dengan Alkitab, konselor yang memulihkan, dan “sahabat rohani” untuk berbagi pergumulan. Ada kalanya juga saya menjadi manusia rapuh yang masih dapat jatuh ke dalam dosa dan membutuhkan dukungan dari rekan penginjil maupun jemaat.
Bagaimana Anda menangani konflik atau perbedaan pendapat dalam jemaat?
Konflik merupakan fenomena yang tidak terelakkan dalam kehidupan sebuah gereja. Namun, yang terpenting adalah kita tidak terjebak dalam fenomena semata, melainkan mencermati apa yang sesungguhnya terjadi di balik konflik tersebut. Iblis tidak suka ada harmoni di dalam “tubuh Kristus” atau karena faktor psikologis di mana pribadi yang membawa luka masa lalu berjumpa dengan pribadi yang juga terluka. Untuk itu, dalam sebuah konflik, kita perlu mengambil lebih banyak waktu untuk berdiam, memohon pimpinan Roh Kudus untuk menerangi hati, ego, dan menelusuri motif setiap pihak yang bertikai.
Bagaimana Anda menjaga keseimbangan antara kehidupan pribadi dan tugas pelayanan?
Saya percaya bahwa self-love akan berguna ketika tidak terlepas dari mengasihi Tuhan dan sesama. Untuk itu, kesempatan beristirahat – baik “me time” maupun bersama keluarga – harus dimanfaatkan sebaik mungkin sebagai recharge untuk kembali melayani Tuhan dengan prima. Healing and self-love – walaupun dapat menjadi sebuah “berhala hati’ – sebenarnya bisa menjadi sebuah aktivitas yang membangun asalkan dilakukan dengan disposisi hati yang berpusat pada Kristus. Roh Kudus yang dapat memberikan kepekaan dalam mengambil pilihan tersebut.
Apa kegiatan atau praktik rohani yang Anda lakukan secara rutin untuk menjaga kedekatan dengan Tuhan?
Saya disiplin melakukan pengakuan terhadap seorang “bapak rohani”. Dalam percakapan via Whatsapp Call tersebut saya terbuka akan keberhasilan maupun kegagalan saya. Melalui disiplin pengakuan tersebut saya semakin diteguhkan bahwa saya senantiasa dikasihi dan diterima apa adanya, sekaligus termotivasi untuk terus bertumbuh dalam Kristus. Di sinilah saya semakin menyadari bahwa koneksi hati perlu mendahului koreksi.
Apakah ada proyek atau inisiatif khusus yang Anda harapkan bisa diwujudkan dalam waktu dekat?
Saya bersama rekan-rekan pasutri sedang dalam perjalanan awal untuk menciptakan komunitas pasutri muda yang saling terbuka, menopang, dan memulihkan satu sama lain. Saya juga sedang membentuk sistem pemerhatian jemaat yang tidak hanya memperhatikan jemaat yang sedang berbeban berat atau memiliki pergumulan kesehatan, melainkan juga memperhatikan kondisi kerohanian dan psikologis dari setiap pemimpin CGF. Terakhir, saya bersama tim juga sedang membangun sebuah sistem pembinaan berjenjang, dimulai dari kelas untuk calon pelayan, pengurus, dan pemimpin/ majelis.
Bagaimana pandangan Anda tentang peran gereja dalam menghadapi isu-isu sosial saat ini?
Gereja hadir untuk menjadi sebuah komunitas yang inklusif di mana setiap pribadi di dalamnya diterima, dimuridkan, dan menikmati persekutuan dalam “Tubuh Kristus” tanpa memandang latar belakang suku, strata ekonomi, tingkat pendidikan, dan gender. Kepekaan sosial perlu dilatih dan dihadirkan dalam gereja lokal secara internal terlebih dahulu. Selanjutnya, gereja perlu hadir sebagai “jembatan” untuk mewujudkan keadilan sosial dan mengembangkan kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat sekitar. Penting untuk dipahami bahwa Injil Kristus tidak hanya dihadirkan melalui forum ibadah, kelompok kecil, atau ragam pelayanan misi yang ada, melainkan juga melalui aksi nyata di ruang publik dan bagi masyarakat sekitar.
Apa tantangan terbesar yang dihadapi gereja-gereja saat ini dan bagaimana cara mengatasinya?
Tantangan terbesar gereja Injili (saya menggunakan istilah Injili, karena saya terbatas untuk dapat mencermati fenomena di luar gereja Injili) adalah budaya dan tatanan organisatoris gereja yang belum sepenuhnya memadai atau tune in untuk menjadi “kendaraan” pemuridan yang intensional bagi setiap anggota gereja. Gereja-gereja Injili berbasis Tionghoa pada umumnya lebih dekat dengan atmosfer “klub sosial” dan program oriented church.
Apa harapan Anda untuk masa depan gereja dan umat yang Anda layani?
Kiranya setiap keluarga dalam gereja dapat dipulihkan oleh Injil Kristus dan para penginjil, majelis, pengurus, dan aktivis juga dapat menjadi “sahabat rohani” seperjalanan yang saling percaya, memulihkan, dan menjaga satu sama lain.
***
No Comment! Be the first one.