Mungkin kita akan mengernyitkan dahi saat mendengar orang menjuluki Beirut, ibukota Lebanon, sebagai “Paris dari Timur”. Jangan kaget, Beirut pada 1950-1970 adalah satu-satunya kota di Timur Tengah yang bernuansa Eropa dengan deretan bangunan ala Prancis, mobil mutakhir, kuliner kelas dunia, sampai wanita modis berseliweran di jalanan utamanya.
Keadaan saat ini sungguh kontras: Lebanon adalah salah satu negara termiskin di Timur Tengah. Perang saudara dan konflik rumit antar kelompok masyarakat berkepanjangan selama puluhan tahun telah mengikis habis kecantikan negeri yang terletak di tepi Laut Mediterania ini, yang konon telah memikat hati orang sejak ribuan tahun lalu.
Akankah kecantikan negeri ini datang kembali, seiring dengan terjadinya “guncangan hebat” di kawasan tersebut belakangan ini?


Negeri Orang Kanaan, Sahabat Salomo
Area yang kini disebut Lebanon adalah salah satu wilayah pemukiman tertua di dunia. Bangsa Kanaan, yang kerap ditulis dalam Perjanjian Lama, adalah suku bangsa pertama yang menetap di Lebanon, Yordania, Suriah, dan Israel, sebelum kemudian didesak keluar oleh bangsa Yahudi yang dipimpin Yosua. Penelitian genetika terbaru membuktikan bahwa lebih dari 90 persen penduduk asli Lebanon saat ini berasal dari orang Kanaan kuno. Para sejarawan sekuler kini menganggap orang Kanaan identik dengan berbagai suku yang kerap ditulis di Alkitab, seperti: orang Het, Amori, Yebus, Fenisia, Asyur, bahkan Yahudi. Semuanya dikategorikan sama sebagai Suku Bangsa Semit.
Ciri khas orang Kanaan di masa Alkitab adalah mereka biasanya mendirikan negara-kota, membangun kota-kota berbenteng yang berdaulat dan terpisah dengan kota lainnya. Sebuah kota tertua di dunia yang masih dihuni sampai sekarang di Lebanon adalah kota Byblos, yang ditinggali tanpa terputus sejak 7.000 tahun lalu, diawali sebagai desa nelayan di tepi laut Mediterania yang terletak sekitar 30 kilometer di utara Beirut. Konon, kota Byblos menjadi tempat berkembangnya alfabet Fenisia yang merupakan nenek moyang alfabet Yunani, Latin, dan alfabet Barat lainnya.




Kota lainnya adalah Sidon, juga terletak di tepi laut Mediterania, 40 km di selatan Beirut, yang telah dihuni 6.000 tahun lalu.
Kota Sidon ditulis berulang kali dalam Perjanjian Lama, termasuk di masa Salomo. Rupanya pada masa itu Sidon menjadi bagian Negeri Tirus (Tyre) yang dipimpin Raja Hiram, yang sudah bersahabat dengan Israel sejak era Daud. Salomo mengirim surat kepada Hiram karena ia tahu tanpa pertolongan Raja Hiram mustahil bisa mendirikan Bait Allah sesuai dengan perintah Tuhan. Ini potongan surat Salomo seperti tertulis dalam 1 Raja-Raja 5, “….perintahkanlah orang menebang bagiku pohon-pohon aras dari gunung Lebanon, dan biarlah hamba-hambaku membantu hamba-hambamu, dan upah hamba-hambamu akan kubayar seberapa juga kau minta, sebab engkau tahu, bahwa di antara kami tidak ada seorang pun yang pandai menebang pohon sama seperti orang Sidon.”
Nampaknya gunung Lebanon yang terletak di bagian tengah Lebanon adalah sumber bahan bangunan utama yang amat kokoh dan sangat cocok digunakan untuk pilar, balok, dinding, dan interior Bait Allah yang megah. Gayung bersambut, Raja Hiram pun menyahut, ”Aku telah mendengar pesan yang kausuruh sampaikan kepadaku. Tentang kayu aras dan kayu sanobar aku akan melakukan segala yang kaukehendaki.”
Segera saja pohon-pohon aras di pegunungan Lebanon ditebang, dibawa menuju laut, diikat menjadi rakit dan dilayarkan menuju kota pelabuhan di Israel, sebelum akhirnya diangkut ke Yerusalem menggunakan kereta berkuda. Salomo dan Hiram dikisahkan menandatangani perjanjian damai dan menjalin persahabatan sampai masa tua mereka. Pohon aras (cedar of Lebanon) yang mirip pohon cemara ini terus menjadi kebanggaan bangsa Lebanon sepanjang zaman. Maka tak heran bendera Lebanon pun berhiaskan cedar of Lebanon di bagian tengahnya.




Maronit, Wajah Kristen yang Terhimpit Zaman
Geomorfologi Lebanon terdiri dari dataran pantai yang diisi kota-kota, pegunungan Barat (Gunung Lebanon), Lembah Beqaa, dan pegunungan Timur (Anti-Lebanon). Kondisi alam yang unik memungkinkan kelompok yang terancam mencari perlindungan di kedua pegunungan atau di lembah yang diapitnya. Paling awal adalah kelompok yang mengungsi karena menghindari penganiayaan, yaitu Kaum Maronit, yang pindah dari Antiokhia (kini bagian dari Turki) ke pegunungan Lebanon.
Kaum Maronit bermula dari seorang rahib yang hidup pada abad keempat bernama Maron (kemudian hari menjadi Santo Maron). Maron yang bersahabat dengan Yohanes Krisostomus (salah seorang Bapa Gereja) memilih hidup sebagai seorang pertapa dan menyepi dari Antiokhia ke Sungai Orontes. Banyak pengikutnya juga menjalani hidup kebiaraan. Setelah kematian Maron pada 410, murid-muridnya mendirikan sebuah biara untuk mengenangnya dan membentuk cikal bakal Gereja Maronit.
Pada 451, ancaman penganiayaan dan pembunuhan menimpa kaum Maronit di Antiokhia oleh pengikut aliran monofisit yang menguasai kota itu. Alhasil, demi menghindari persekusi lebih berat, para biarawan dan umat Maronit mengungsi ke pegunungan Lebanon. Mereka kemudian menetap di sana, berkembang selama ratusan tahun menjadi salah satu kelompok Kristen terbesar di Timur Tengah. Kaum Maronit terus bertahan dari berbagai ancaman, mulai dari kejaran pihak Kristen ortodoks yang berpusat di Konstantinopel sampai penguasa Islam yang terus berekspansi ke seluruh Timur Tengah bahkan sampai ke Afrika dan Eropa.
Lebih dari 400 tahun kaum Maronit hidup terpencil tanpa relasi dengan pusat kekristenan di Barat maupun Timur, sampai pada masa perang salib. Tentara salib dari Barat sangat terkejut mendapati sebuah kelompok Kristen yang bertahan hidup di tempat terpencil di tengah beragam ancaman. Bangsa Barat pada masa itu menganggap orang Kristen Maronit telah hilang ditelan zaman. Dukungan dari Paus dan tentara salib membangkitkan kembali semangat hidup kaum Maronit. Sampai kini, kelompok Maronit memegang peranan penting di Lebanon.






Druze, “Sekte” Islam yang Mencari Pengakuan
Ada satu kelompok masyarakat kuno lain yang mengungsi ke pegunungan Lebanon sejak abad ke-10, yaitu orang Druze. Druze bermula dari Islam Syiah Ismailiyah yang berpusat di Mesir. Berbeda jauh dengan induknya yang murni Islam, Druze mencampurkan ajarannya dengan Filsafat Yunani, Kristen, bahkan Hindu, Budha, dan Zooroaterisme. Inilah agama monoteisme paling unik hasil sinkretisme hampir semua ajaran yang ada di dunia. Semua nabi diakui dan dihormati, namun ada seorang yang paling dipuja, yaitu Yitro (mertua Musa) karena dianggap sebagai leluhur orang Druze.
Tentu saja agama yang dianutnya dianggap sesat oleh pemeluk agama utama. Maka kelompok Druze yang sampai kini menganggap diri sebagai orang Arab harus menanggung persekusi di sepanjang sejarah. Hebatnya, kelompok etnoreligius (agama suku) ini benar-benar dapat menjaga “kemurnian” ajaran dan kelompoknya selama lebih dari 1.000 tahun keberadaannya. Mereka tidak pernah kawin campur, melarang kelompoknya berpindah agama, juga menolak suku/ bangsa lain untuk memeluk agamanya.
Kini orang Druze menyebar ke seluruh dunia, totalnya diperkirakan 2,3 juta jiwa. Terbanyak ada di Suriah (600 ribu) dan Lebanon (250 ribu). Karena jumah penduduk Lebanon sedikit -terutama sebelum dibanjiri imigran Palestina dan Suriah- maka kelompok ini memiliki proporsi cukup besar di Lebanon. Bersama kaum Maronit, mereka dianggap sebagai “pribumi” di Lebanon. Orang Druze juga kini banyak bermukim di Israel, bahkan banyak dari mereka bergabung ke dalam militer Israel (IDF).




Selain Kaum Maronit dan Druze, Lebanon juga ditinggali beragam suku dengan beraneka aliran agama. Hampir semua aliran Kristen hidup di sana, demikian juga dengan Islam Sunni dan Syi’ah yang kemudian menjadi mayoritas. Bagaimanapun, Lebanon tetap memiliki proporsi terbesar umat Kristen di negara Timur Tengah mana pun. Pada sensus 1932 umat Kristen di Lebanon merupakan 50 persen dari populasi penduduk, tetapi seiring waktu, proporsinya semakin menurun karena imigrasi kelompok lain dan emigrasi kaum Kristen ke negara-negara Barat.
Selama Lebanon di bawah mandat Prancis (sampai merdeka pada 1943) dibuatlah konstitusi Lebanon (1926), yang didasarkan pada prinsip kebebasan, kesetaraan, dan kebebasan beragama. Konstitusi itu diamandemen berulang kali, namun tetap mengadopsi sistem konfesionalisme, yaitu pembagian kekuasan berdasarkan aliran agama. Sistem politik sektarian ini mengharuskan presiden seorang Kristen Maronit, perdana menteri seorang Muslim Sunni, wakil perdana menteri Kristen Ortodoks, dan ketua parlemen Islam Syi’ah. Sistem yang nampak rumit ini ternyata bisa membawa kedamaian antar kelompok yang hidup dalam harmoni indah, terutama pada era 1950-1970. Pertumbuhan ekonomi meningkat dengan pesat membawa kemakmuran bagi segenap masyarakat. Lebanon dianggap sebagai ibukota perbankan dunia Arab. Beirut dan kota-kota lain di tepi pantai tersohor sebagai tempat wisata dunia yang menebarkan pesona ke seluruh dunia.
Namun, semuanya mendadak sirna begitu saja akibat perubahan geopolitik di kawasan.
Korban Perang Proxy di Kawasan
Perang Arab – Israel memperebutkan wilayah Palestina yang terjadi pada 1967 dan 1973 sebenarnya tak ada hubungannya dengan Lebanon, karena Lebanon tidak ikut berperang walau penduduknya menganggap diri orang Arab. Namun, perang di mana pun selalu menimbulkan korban. Gelombang pengungsi orang Palestina mulai membanjiri kawasan sekitarnya, terbanyak ke Suriah, Yordania dan Lebanon.
Seperti sudah menjadi takdir sejak ribuan tahun lalu, Lebanon selalu menjadi tempat mengungsi warga yang terancam. Kamp-kamp pengungsi didirikan di Lebanon Selatan, awalnya hanya sementara namun seiring waktu banyak yang akhirnya menetap di sana. Tanpa disadari, benih perpecahan Lebanon mulai tertanam. Komposisi penduduk, terutama agama, menjadi berubah. Pengungsi Palestina yang sebagian besar beragama Islam diterima dengan ramah oleh masyarakat Sunni dan Syi’ah. Sebaliknya, kaum Maronit dan kelompok Kristen lain mulai menolak karena merasa terancam. Konflik kecil-kecilan memuncak menjadi perang saudara antar kelompok agama yang memporak-porandakan tatanan sosial yang sebelumnya terjalin harmonis.
Tidak ada konsensus di antara ahli dan peneliti mengenai apa yang menyebabkan Perang Saudara Lebanon. Keterlibatan Suriah, Israel, Amerika Serikat dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) memperburuk konflik. Perang saudara berlangsung dari 1975-1990, menyebabkan lebih dari 130 ribu orang tewas.


(Photo by Alain Nogues / Sygma / Sygma via Getty Images)


Ketika perjanjian perdamaian disepakati pada Oktober 1990, salah satu butirnya menyatakan semua milisi di Lebanon dilucuti, kecuali Hizbullah yang didukung Iran. Keputusan ini berbuntut panjang. Hizbullah adalah milisi Syi’ah trans-nasional yang didirikan pada 1981 untuk memerangi Israel dan negara Barat. Seiring waktu, Hizbullah yang sepenuhnya didukung dana dan senjata oleh Suriah dan Iran berkembang lebih kuat dari tentara resmi Lebanon. Pemimpinnya, Hasan Nasrallah, dijuluki orang paling kuat di Lebanon.
Saling serang antara Israel yang didukung Amerika Serikat di satu pihak dengan Hizbullah dan Hamas (kelompok Palestina yang menguasai Jalur Gaza) yang didukung Suriah dan Iran di pihak lain membuat Lebanon Selatan tetap menjadi tungku berasap yang tak kunjung padam. Jalannya pemerintahan Lebanon juga menjadi tak efektif, kehidupan politik “disandera” oleh Hizbullah dan Suriah. Contohnya, pemilihan presiden dan perdana menteri Lebanon bisa tertunda bertahun-tahun hanya karena Hizbullah tidak setuju pada calon yang terpilih. Pada akhirnya hanya kelompok Syi’ah yang tersisa sebagai pendukung setia Hizbullah. Kelompok lainnya sudah gerah, tapi gentar bersuara.
Game Changer, Pembuka Harapan
Tak ada yang menduga 7 Oktober 2023 adalah tanggal yang akan mengubah sejarah dunia. Pada tanggal itu, dini hari, militan Hamas menerobos perbatasan Israel dari Gaza, membunuh 859 warga sipil dan 350 tentara, dan menculik 250 lainnya. Tanggal tersebut dipilih karena merupakan hari Sabat (Sabtu) dan memperingati hampir tepat 50 tahun dimulainya perang Yom Kippur (6 Oktober 1973 – perang terakhir Arab-Israel). Sontak, negara Barat mengecam keras dan Israel mengamuk.
Hari-hari selanjutnya kita saksikan perburuan besar-besaran terhadap militan Hamas dan para petingginya. Pimpinan Hamas Ismail Haniyeh dibidik saat bertamu ke Teheran. Kamarnya di markas garda revolusi Iran dihantam rudal berpemandu. Israel tampaknya memegang hukum “mata ganti mata”, tetapi dalam skala berlipat-lipat. Tak kurang dari 46 ribu orang Palestina di Gaza (sipil dan militer) terbunuh dan saat ini Gaza menjadi reruntuhan puing setelah lebih dari setahun dibombardir oleh IDF. Hamas sebagai salah satu kelompok perlawanan di bawah pimpinan Iran kini praktis lumpuh. Tak cukup dengan Hamas, Israel membidik pula Hizbullah sebagai kepanjangan Iran yang lain. Rentetan ledakan penyeranta (pager) dan walkie talkie menyasar anggota Hizbullah di Lebanon. Puncaknya, Hasan Nasrallah, pimpinan Hizbullah selama 32 tahun yang tak pernah berhasil ditangkap Amerika, dilenyapkan saat bersembunyi di Beirut.
Militer Lebanon tak bereaksi kendati Israel memasuki perbatasan untuk memburu anggota Hamas dan Hizbullah. Mereka dan warga Lebanon non-Syi’ah memilih tinggal di barak dan rumah masing-masing, seolah ini bukan urusan mereka. Mungkin sebagian bersyukur dan bersorak karena sudah lelah terhadap Hizbullah yang selama ini mendominasi kehidupan politik di sana. Akhirnya, saat gencatan senjata antara Israel – Palestina disepakati demi pertukaran sandera, dunia tersadar bahwa kondisi politik di Palestina dan sekitarnya telah berubah drastis. Iran kehilangan seluruh jari jemarinya di kawasan Timur Tengah saat Hamas, Hizbullah dan terakhir Suriah jatuh ke tangan pemberontak. Peristiwa 27 Oktober adalah “game changer”, pengubah konstelasi politik yang pada akhirnya mengubah masa depan setiap negara di kawasan tersebut, termasuk Lebanon.
Benar saja, setelah Hizbullah lumpuh, pemerintahan Lebanon kembali berjalan dengan baik. Joseph Khalil Aon terpilih sebagai Presiden Lebanon setelah lebih dari dua tahun jabatan itu kosong. Joseph Aon adalah jenderal yang berasal dari kalangan Maronit. Kemudian, Nafaw Salam ditetapkan sebagai Perdana Mentri Lebanon. Ia seorang Sunni yang pernah menjabat hakim di Mahkamah Internasional.


(CNS photo/courtesy Mychel Akl, Maronite Catholic Patriarchate)
Khusus bagi kelompok Kristen Maronit, sekali lagi membuktikan bahwa Tuhan tetap memelihara mereka sejak masa kekristenan awal. Di tengah badai tantangan yang tak pernah berhenti sepanjang zaman, mereka tetap bertahan. Kelompok ini telah menghasilkan orang-orang yang tahan uji dan berprestasi tinggi. Salah satu dari mereka adalah Kahlil Gibran, sastrawan Arab terbesar dari Pegunungan Lebanon yang telah memperkaya dunia dengan karya-karya monumentalnya yang amat indah.
Dunia kini mendambakan kembalinya Lebanon sebagai putri cantik di Timur Tengah. Ekonomi kembali bertumbuh, jalan-jalan di Beirut kembali ramai, resor-ski di pegunungan Lebanon kembali dipadati wisatawan, dan masyarakat majemuk yang hidup di dalamnya kembali hidup dengan harmonis. Semoga.
“Out of suffering have emerged the strongest souls; the most massive characters are seared with scars.”
― Kahlil Gibran
***
No Comment! Be the first one.