Ditulis oleh Nicoline Dorothy Santoso
Sudah hampir dua tahun saya kuliah di Korea Selatan. Keseharian saya memang terasa mirip seperti apa yang ada dalam drama-drama Korea: naik bus sambil menikmati pemandangan bunga sakura, menikmati serunya festival universitas yang megah, dan juga jalan-jalan bersama teman ke kafe yang lucu dan unik. Namun, ternyata kehidupan yang saya rasakan tidaklah seindah drama-drama Korea.
Saya sekarang kuliah di salah satu dari tiga universitas terbesar dan paling bergengsi di Korea: Yonsei University. Tidak sedikit siswa-siswi Korea menghabiskan waktu belajar dengan keras di bangku SMA agar bisa diterima di universitas ini.


Saat saya memasuki Yonsei, suasana persaingan begitu kental terasa. Untuk memilih kelas kuliah saja, saya harus berjuang memperebutkannya. Mirip seperti war tiket konser artis. Begitu panasnya perebutan kelas itu, sampai-sampai di tahun pertama kuliah saya hampir saja tidak bisa mendapatkan kelas.
Kompetisi juga sangat ketat di sisi akademis. Hampir semua mahasiswa di sana sangat ambisius terhadap nilai akademis dan aktif sekali dalam berorganisasi. Saat musim ujian akhir, pemandangan siswa-siswi belajar di ruang asrama sampai jam tiga subuh menjadi suatu hal yang sangat biasa.
Ada satu budaya di Korea yang banyak orang luar tidak sadari, yaitu kehidupan yang bergerak begitu cepat dan kompetitif. Suatu budaya yang sering digambarkan sebagai ppalli ppalli (빨리 빨리) yang berarti “bergegas” dalam bahasa Korea.
Hal ini sangat berbeda dengan ritme hidup di Indonesia yang slow living. Masyarakat Korea mengakar kuat pada kecepatan dan berjuang untuk keunggulan dalam hampir setiap aspek kehidupan. Kehidupan sehari-hari selalu diperhadapkan pada lingkungan yang sangat kompetitif di berbagai bidang, seperti: pendidikan, pekerjaan, dan bisnis. Orang-orang diharapkan bekerja dengan cepat dan efisien untuk mencapai kesuksesan.
Budaya inilah yang kadang membuat orang Indonesia terkaget-kaget saat berkunjung ke Korea. Penduduk di sana sudah sangat terbiasa untuk mengerjakan segala sesuatu dengan cepat dan terburu-buru sehingga terkesan lebih kasar dan individualis.
Menurut para ahli, di balik budaya Korea Selatan yang dinamis dan penuh semangat, terdapat banyak orang yang berjuang untuk mengatasi tekanan dan stres dari masyarakat yang sangat kompetitif. Masyarakat Korea secara terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain untuk mengukur posisi dan keberhasilannya.
Saya pun ikut terhanyut di dalamnya. Saya menjadi ambisius. Saya mengikuti banyak kegiatan, organisasi, dan mengejar prestasi dalam bidang akademis juga. Saya berusaha dengan keras untuk bisa mengejar arus.
Sejujurnya, tidak mudah untuk bisa menyeimbangkan semua kegiatan dan tanggung jawab yang saya miliki. Belum lagi sebagai anak rantau. Padahal, banyak tanggung jawab lain dalam rumah tangga yang juga harus saya lakukan, seperti mencuci baju dan belanja keperluan sehari-hari. Ada banyak momen di mana saya seakan menghadapi jalan buntu dan merasa putus asa.


Perasaan cemas terus mengikuti saya dan membuat saya khawatir akan masa depan saya. Ketakutan jika saya tidak bekerja keras dalam mengejar semuanya, hal yang saya impikan di masa depan tidak akan tercapai. Perasaan “takut ketinggalan” mulai pelan-pelan menghantui pikiran saya.
Ketakutan dan kecemasan makin mengonsumsi pikiran dan perasaan saya. Namun, saya belajar bahwa kita punya Tuhan yang memimpin jalan dan masa depan kita. Mungkin ada beberapa hal yang kita sudah susah payah mengusahakan, tetapi tidak juga terjadi. Tidak apa-apa. Pasti Tuhan punya rencana buat kita.
Saya belajar untuk tidak perlu putus asa dalam mencari kesempatan atau bekerja keras hingga harus mencemaskan banyak hal. Kalau sudah waktunya, Tuhan pasti akan membuka kesempatan. Jika belum ada, ya kita jalani saja. Semua hal yang kita lewati itu bukan hal yang demikian signifikan yang akan menentukan masa depan kita. Semua orang memiliki jalannya sendiri yang Tuhan sudah tentukan.


Kesadaran untuk bersandar dan berharap pada Tuhan membuat keseharian saya lebih mudah dijalani. Semua yang saya hadapi memang tidak seindah apa yang tampak di drama-drama Korea, tapi saya yakin kalau saya terus memegang tangan Tuhan, Dia akan menghantar saya pada masa depan yang indah yang sudah Dia rancang bagi hidup saya. Dan itu pasti jauh lebih indah daripada apa yang secara artifisial digambarkan dalam drama-drama Korea.
Penulis kelahiran Jakarta, 8 Desember 2005 ini sedang menempuh pendidikan di Yonsei University, Korea. Jurusan Culture and Design Management