Jesus Way yang diartikan menjadi “cara Yesus” atau “jalan Yesus” tampaknya berupa jalan sempit dan hanya sedikit orang yang menyukai atau memilihnya. Seperti yang pernah Yesus katakan:
“Karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya.” (Matius 7:14).
Semua orang, atau sebagian besar orang, memilih jalan lebar tanpa hambatan agar sebisa mungkin lebih cepat sampai tujuan. Jalan sempit hanya memperlama waktu, tidak efektif, dan tidak sesuai tuntutan zaman yang serba cepat dan instan.
Sebenarnya jalan sempit tidak apa-apa asalkan lancar. Ternyata tidak. Jesus way bukan seperti jalur khusus bus atau busway di Jakarta. Busway – walaupun sempit, hanya pas untuk satu bus – memberikan privilese karena dikhususkan untuk bus tanpa ada hambatan apapun. Ikut melaju di busway enak sekali, diprioritaskan, tidak ikut antre bermacet-macetan di jalan.


Jesus way tidak seperti busway.
Dulu ada kisah seorang anak muda yang kaya raya sedang mencari jalan menuju Kerajaan Surga, jalan menuju hidup yang kekal. Selama hidupnya, dari masa kanak-kanak hingga pemuda, ia sudah mendapat doktrin bahwa perbuatan baik adalah syarat untuk mendapatkan hidup kekal. Ia sudah melakukannya dengan taat. Istilah ekstremnya: dengan tidak bercela.
Ia sudah mencoba jalan ini dan itu, jalur ke sana dan ke situ, tetapi tampaknya ia kurang sreg dengan panduan rutenya. Kalau zaman sekarang, seperti kurang yakin dengan Google Map waktu berkendara.
Si anak muda tidak puas dengan guru-gurunya yang ahli dalil kitab suci. Ia belum mendapat kepastian hidup kekal. Jadi ia terus mencari.
Kebetulan pas di hari itu, Yesus lewat di daerahnya. Anak muda itu tak menyia-nyiakan kesempatan untuk menemui Yesus, karena nama Yesus sudah tersiar kemana-mana sebagai seorang Guru yang bijak. Ia ingin bertanya apakah rute yang ditempuhnya sudah betul atau keliru.
Ketika Yesus masih jauh, si anak muda tak sabar lagi. Ia datang berlari-lari kepada Yesus. Ia hebat sekali. Sudah saleh, kaya raya pula. Kurang apa?
Tambah satu lagi: ia terdidik dengan budi pekerti yang luhur, dan berjiwa mulia. Karena kemuliaan jiwanya itu ia mengerti tata krama. Ia memanggil Yesus dengan sebutan ‘Guru’, lalu bersujud di kaki-Nya sebagai tanda respeknya kepada Yesus. Attitude-nya luar biasa, dapat jadi teladan kehidupan masyarakat.


“Guru, perbuatan baik apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” tanyanya.
Tentu ia setiap hari belajar kitab suci. Mungkin ia masih berusia 20-an tahun. Tetapi sungguh istimewa, di usia semuda itu ia sudah menanyakan soal hidup kekal, sebuah topik yang tidak menarik bagi anak-anak muda karena dianggap masa yang masih jauh.
“Soal hidup kekal… Hmm.. Kau tentu tahu perintah Allah yang tertulis itu, bukan?” tanya Yesus. “Oh, semuanya itu telah aku lakukan, Guru,” jawabnya dengan mata berbinar sambil memainkan jari-jarinya seperti menghitung: jangan membunuh, jangan mencuri, jangan berzinah, hormatilah ayah-ibumu…
Yesus tersenyum dan menatap matanya dengan penuh kasih. Si anak muda seperti murid yang berharap gurunya memberikan nilai 100. Sempurna. Ia adalah anak yang saleh, yang terdidik dalam keluarga yang religius. Nilai 100 tampaknya pantas untuknya.
“Excellent! Hanya satu kekuranganmu,” kata Yesus.
Si anak muda terpana.
“Hah, masih ada yang kurang?” Si anak muda bertanya di dalam hatinya. Ia mengingat-ingat lagi ayat demi ayat kitab suci yang selama ini menjadi panduannya, yang sudah dihafalkannya dengan sempurna, dan juga sudah dilakukannya dengan cermat. Guru-guru agamanya memujinya. Ayah-ibunya membanggakannya.
“Juallah seluruh hartamu, bagikanlah kepada orang-orang miskin, lalu ikutlah Aku,” kata Yesus lagi.
Dan tiba-tiba senyap. Orang-orang yang berkerumun sambil menguping terkesiap. Mereka terkejut karena tidak mengharapkan jawaban demikian. Siapa yang tak kenal dengan anak muda itu? Ia begitu terpandang di masyarakat.
Raut muka si anak muda terlihat kecewa. “Tak cukupkah kesalehanku dan amalku? Oh, seandainya aku tak bertanya kepada-Nya.” Begitu barangkali yang dipikirkannya. Ia benar-benar tidak menyangka Yesus akan menjawab begitu.
Bagaimana mungkin kekayaannya yang sangat banyak harus dijual dan dibagikan kepada orang-orang miskin? Bagaimana mungkin statusnya yang tinggi tiba-tiba dalam satu hari terbanting ke titik terendah sebagai orang yang tak berpunya, lalu menggelandang dan berjalan mengikut Yesus ke manapun Ia pergi?
Namun, begitulah Jesus way. Bukan hanya jalan sempit, tetapi jalan sempit yang menurun, jalan yang bergerak turun atau downward mobility. Jalan yang menghancurkan kebanggaan, melepaskan keterikatan (belenggu) atas kecintaan terhadap segala sesuatu selain Tuhan. Hanya jalan menurun inilah jalan untuk sampai kepada hidup yang kekal.
Betapa banyak orang berbangga karena sudah menjalankan perintah agamanya, tetapi benarkah mereka mencintai Tuhan lebih daripada segalanya? Yesus sangat jeli melihat. Ia melihat sampai kedalaman hati dan pikiran. Yesus tahu, sebenarnya anak muda itu datang kepada-Nya hanya untuk mendapatkan konfirmasi bahwa semua perbuatan baiknya sudah memenuhi syarat untuk memperoleh hidup yang kekal.
“Ketika orang muda itu mendengar perkataan itu, pergilah ia dengan sedih, sebab banyak hartanya.” (Matius 19:22).
Kesedihannya sebesar kecintaannya. Makin ia memperbesar cintanya kepada hartanya, makin besarlah kesedihannya karena tak rela semua itu hilang. Ia tak setuju menempuh Jesus way. Ia tak mau ikut downward. Ia ingin tetap di atas, mempertahankan kebanggaannya, dan mencengkeram “dunianya” dengan erat.
Maka anak muda itu pergi dari hadapan Yesus. Ia pergi untuk mencari jawaban lain soal hidup kekal, ke manapun, kepada siapapun. Ia akan terus mencari sampai menemukan jawaban yang sesuai dengan keinginannya, asalkan tak harus berpisah dengan dunianya (hartanya).
Dengan rasa iba, Yesus memandang punggung si anak muda menjauh. Ia tak pernah memaksa seseorang untuk mengikuti-Nya. Ia hanya pernah berpesan, “Di mana hartamu berada, di situlah hatimu berada.”
***