Tak terasa setahun sudah Alkitab Terjemahan Baru Edisi Kedua (selanjutnya ditulis Alkitab TB2) hadir mendampingi umat Kristen di Indonesia. Mengapa disebut Edisi Kedua? Dan mengapa perlu ada edisi baru lagi padahal kita sudah puluhan tahun terbiasa membaca dan menghafal Alkitab yang ada sekarang (TB1)?
Tim Nafiri mengunjungi Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) – badan resmi yang menerbitkan berbagai versi Alkitab bagi umat Kristen dan Katolik di Indonesia — untuk mendapatkan informasi yang komprehensif dari narasumber paling kompeten.
Uraian berikut disarikan dari wawancara dengan Kepala Departemen Penerjemahan LAI Pdt. Anwar Tjen dan dilengkapi informasi dari berbagai sumber lain.
Riwayat Penerjemahan Kitab Suci Melintasi Abad
Bagaimana bila “Doa Bapa Kami” (Matius 6:9-13) dalam Alkitab kita berbunyi seperti ini:
“Bapa kamij jang ada disawrga, namamu dipersutjilah kiranya.
Karadjaanmu datanglah. Kahendakhmu djadilah,
seperti didalam sawrga, demikijenlah diatas bumi.
Rawtij kamij saharij berilah akan kamij pada harij ini.
Dan amponilah pada kamij segala salah kamij, seperti lagi kamij ini mengamponij pada awrang jang bersalah kapada kamij.
Dan djanganlah membawa kamij kapada pertjawbaan, hanja lepaskanlah kamij deri pada jang djahat.”
Rangkaian “Doa Bapa Kami” di atas termuat dalam Alkitab yang diterjemahkan oleh Melchior Leijdecker, seorang pendeta di Batavia (sekarang Jakarta). Ia menyelesaikan terjemahan Alkitab lengkap – Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru – pada 1733, hampir 300 tahun lalu. Dan itu bahkan bukan terjemahan tertua!
Sekitar seratus tahun sebelumnya, yakni pada 1629, seorang saudagar bernama Ruyl menerjemahkan Injil Matius. Ingin tahu seperti apa “Doa Bapa Kami” yang diterjemahkan lebih dari 400 tahun lalu oleh Ruyl? Cukup baca satu ayat Matius 6:9 dan pastilah kita hampir-hampir tak memahaminya: “Bappa kita, jang berdudok kadalam surga : bermumin menjadi akan namma-mu.”
Sejak awal masa kolonialisme di Indonesia, Tuhan menggerakkan para pendeta maupun orang awam yang berpendidikan untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Melayu, bahasa yang menjadi lingua franca di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) maupun di Semenanjung Malaya. Kala itu belum ada bahasa Indonesia sehingga standar penerjemahan pun berbeda-beda, bahkan menggunakan dialek daerah tertentu. Alhasil tidak semua daerah memahami Alkitab yang ada.
Kemudian, hadirlah seorang misionaris bernama H. C. Klinkert. Ia memulai revisi menyeluruh penerjemahan Alkitab. Awalnya ia menerjemahkan ke dalam bahasa Melayu Rendah, yaitu bahasa Melayu yang beredar di kalangan pedagang di Jawa dan pulau-pulau lain. Belakangan, saat menyadari bahwa terjemahannya tidak menggunakan standar bahasa Melayu, Klinkert rela pindah ke Riau dan menetap di sana untuk memperbaiki bahasa Melayunya. Selama tiga tahun ia mempelajari bahasa Melayu Tinggi yang kemudian digunakannya untuk menerjemahkan Alkitab. Akhirnya, pada 1879 ia berhasil menyelesaikan terjemahan Perjanjian Lama secara lengkap.
Ada satu tokoh lagi yang karyanya menjangkau era 1900-an. Ia adalah misionaris Jerman bernama W. A. Bode. Ia lahir pada 1890 di India, tempat pelayanan orang tuanya. Setelah menjadi tentara Jerman dalam Perang Dunia I, ia kuliah di sekolah-sekolah zending di Jerman dan Belanda. Di usianya ke-40 tahun, Bode diangkat sebagai penerjemah resmi Alkitab.
Bode dan kawan-kawan terus bekerja hingga berhasil merampungkan terjemahan Perjanjian Baru pada 1938. Artinya, butuh 10 tahun untuk merampungkan 27 kitab Perjanjian Baru. Sayang, Bode tak sempat menyelesaikan proyek penerjemahan Perjanjian Lama karena ia meninggal di perairan Nias akibat berkecamuknya Perang Dunia II.
Setelah Indonesia merdeka, bahasa Indonesia terus berkembang sebagai bahasa persatuan nasional. Alkitab dalam bahasa Indonesia yang modern pun menjadi kebutuhan yang semakin mendesak. LAI yang didirikan pada 1954 lantas mulai menyusun terjemahan baru menggunakan bahasa Indonesia baku.
Sambil menunggu “proyek penerjemahan” tersebut selesai, maka pada 1958 diterbitkanlah Alkitab edisi “darurat” yang di kemudian hari disebut Alkitab terjemahan lama. Isinya adalah gabungan Perjanjian Lama versi Klinkert dan Perjanjian Baru versi Bode.
Versi darurat tersebut rupanya bertahan sekitar 16 tahun sebelum akhirnya Alkitab Terjemahan Baru (TB1) diterbitkan pada 1974. Alkitab TB1 inilah yang biasanya ada di rumah dan gereja kita, yang dibaca dan sebagian ayatnya kita hafalkan.
Tiba Saatnya untuk Pembaruan Alkitab
Mengamati ratusan tahun riwayat penerjemahan Alkitab, nyatalah bahwa perkembangan bahasa adalah suatu hal yang tak terelakkan. Apalagi ketika kata serapan dari bahasa daerah dan asing terus bermunculan, memperkaya bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terbaru (2016) memiliki 112.000 lema (entries), padahal KBBI 1 (1988) hanya memiliki 62.000 lema. Dalam 35 tahun, jumlah kosa kata bahasa Indonesia melonjak hampir dua kali lipat!
Maka, penerbitan Alkitab TB2 adalah suatu hal yang menggembirakan karena kita memiliki kitab suci yang terus “berbicara” dalam bahasa yang dimengerti oleh semua orang, terutama generasi muda.
Lantas, apa saja yang diperbarui dalam TB2? Berikut di antaranya:
Penyesuaian Ejaan Terbaru
Alkitab TB2 sedapat mungkin mengikuti kaidah terkini yang mengacu pada Panduan Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI), misalnya:
- Kata “daripada” digunakan hanya untuk menandai perbandingan. Kalimat “lepaskanlah kami daripada yang jahat” di TB1 diubah menjadi “lepaskanlah kami dari yang jahat” di edisi TB2.
- “Ceriterakanlah” (TB1) menjadi “Ceritakanlah” (TB2) – Daniel 2:4
- “.… dan kota Yerikho” (TB1) menjadi “… dan Kota Yerikho” (TB2) – Yosua 2:1
- “Bapa kami yang di sorga” (TB1) menjadi “Bapa kami yang di surga” (TB2) – Matius 6:9
- “Serahkanlah segala kekuatiranmu” (TB1) menjadi “Serahkanlah segala kekhawatiranmu” (TB2).
Pergeseran Makna
Seiring berlalunya waktu, makna sebuah kata bisa berubah, sehingga pembaca masa kini dapat menangkap arti yang berbeda, misalnya:
- “Dibuatnya pula dua jala-jala untuk ganja yang ada di kepala tiang itu” (TB1) menjadi “Dibuatnya pula dua hiasan bercorak jaring untuk kepala tiang yang ada di ujung tiang itu” (TB2).
Penutur sekarang memahami “ganja” sebagai narkotika, sehingga diganti dengan balok atau kepala tiang. - “Sebab segala gembala kambing domba adalah suatu kekejian bagi orang Mesir” (TB1) menjadi “Sebab, semua gembala kambing domba adalah suatu hal yang menjijikkan bagi orang Mesir” (TB2).
Sekarang kita sering mengartikan keji sebagai kejam, bengis. Padahal yang dimaksudkan ayat tersebut adalah sesuatu yang menjijikkan. - “Tuhan telah melakukan perkara besar” (TB1) diganti menjadi “Tuhan telah melakukan perbuatan besar” (TB2).
Perkara sekarang sering diartikan sebagai masalah, persoalan, tindak pidana. - “Bangsa itu dahsyat dan menakutkan” (TB1) menjadi “Bangsa itu mengerikan dan menakutkan” (TB2).
Saat ini dahsyat sering diartikan sebagai kekuatan positif, padahal yang dimaksudkan adalah sebaliknya.
Interpretasi dan Teks Sumber
Teks asli Alkitab sudah berusia 2.000-3.000 tahun, sehingga banyak kata yang sulit dipahami. TB2 umumnya mempertahankan padanan dalam TB1, tetapi dapat diubah bila ada pertimbangan penelitian naskah-naskah sumber atau kajian mengenai maknanya. Misalnya:
- “Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya” (TB1) menjadi “Bumi belum berbentuk dan kosong. Gelap gulita meliputi samudra semesta” (TB2).
Dalam pandangan dunia Ibrani kuno, pada awalnya seluruh air belum dipisahkan Allah menjadi air di langit dan air di bawahnya. Barulah pada hari ketiga air di bawah langit terkumpul dan dinamai laut (samudra raya). - “Jawabnya: “Siapakah Dia, Tuhan? Supaya aku percaya kepada-Nya.”…. Katanya: ”Aku percaya, Tuhan!”” (TB1) menjadi “Jawabnya, “Siapakah Dia, Tuan? Supaya aku percaya kepada-Nya.” …. Katanya, “Aku percaya, Tuhan!”” (TB2).
Kata “kyrios” dalam bahasa Yunani dapat berarti “tuan, majikan, pemilik, Tuhan”. Lebih wajar bila orang buta yang belum mengenal Yesus menyapa Dia sebagai “Tuan”, kemudian ketika percaya kepada-Nya, sapaan itu diterjemahkan sebagai “Tuhan”.
Masih banyak contoh pembaruan lain pada Alkitab TB2. LAI sudah menerbitkan buku pendamping (warna biru) berisi penjelasan cukup lengkap tentang pembaruan tersebut.
Proses penerjemahan TB2 sudah dimulai sejak awal tahun 2000-an karena menyadari bahwa proses penerbitan edisi terbaru memerlukan waktu cukup panjang. Setiap ayat disisir kembali, didiskusikan oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu.
Pdt. Anwar Tjen sebagai pimpinan tim penerjemah mengingat betapa banyak waktu dan tenaga yang dicurahkan untuk menghasilkan terjemahan Alkitab yang terbaik dan dapat digunakan oleh generasi mendatang. Pdt. Anwar Tjen mengatakan tak kurang dari tujuh kali konsultasi dilakukan dengan gereja-gereja di seluruh Indonesia, dari Medan sampai Papua. Dari konsultasi tersebut, mereka mendapatkan masukan berharga yang kemudian dipertimbangkan
dalam revisi demi revisi. Hingga akhirnya seluruh tugas penerjemahan TB2 dapat diselesaikan pada awal 2023 lalu.
Sudah selayaknya kita sebagai bagian dari Tubuh Kristus yang dilayani oleh LAI dan staf penerjemah mengucapkan puji syukur kepada Tuhan dan menyambut dengan sukacita Alkitab edisi baru. Dengan demikian penyampaian Firman Tuhan menjadi lebih efektif, khususnya bagi generasi yang akan datang.
Sekilas tentang Pdt. Anwar Tjen
Dibesarkan dalam keluarga Tionghoa di Pematang Siantar, Sumatera Utara, Anwar Tjen kecil tumbuh mengikuti kepercayaan yang dianut keluarganya. Namun, ayat pertama dalam kitab pertama Akitab telah mengubah hidupnya. Kalimat “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” (Kejadian 1:1) yang dibacanya dalam Alkitab pinjaman tersebut telah menarik hatinya untuk mulai membaca Alkitab sampai habis. Membaca Alkitab pulalah yang menuntunnya pada pengenalan akan Juruselamat dan kebenaran sejati.
Merupakan seorang polyglot yang menguasai beragam bahasa termasuk Ibrani, Aram, dan Yunani – ketiganya merupakan bahasa asli Alkitab – menjadikan modal penting dalam menjalankan tanggung jawabnya sebagai Kepala Departemen Penerjemahan LAI. Ditambah lagi dengan bekal pengetahuan dan ilmu yang diperolehnya dari universitas di berbagai negara.
Pendidikan tinggi Pdt. Anwar Tjen dimulai di Sekolah Tinggi Teologia Nommensen di Pematang Siantar pada 1991. Ia lalu mendalami filologi dan tafsir kitab suci di Union Theological Seminary di Virginia, Amerika Serikat pada 1995. Riwayat pendidikannya terus berlanjut, mulai dari studi di Pontificium Institutum Biblicum, Roma, Italia (1997-1998), Ecole Biblique, Yerusalem, Universitas Tesalonika, Yunani (2000), studi doktoral di Fakultas Studi Oriental, Cambridge University, Inggris (2003), hingga studi komplementer bidang linguistik di Australia National University, Canberra, Australia (2007).
Pdt. Anwar Tjen menikah dengan perempuan Batak Bernama Marta Romauli Simamora dan telah dikaruniai tiga putra. Belakangan ia sibuk berkunjung ke gereja-gereja di Indonesia untuk mensosialisasikan Alkitab TB2 sebagai pengganti Alkitab TB 1 yang telah berusia 50 tahun.
No Comment! Be the first one.