Kapan pertama kali bangsa China mengenal Injil? Dan benarkah kini ada lebih dari seratus juta orang yang mengaku menjadi pengikut Kristus di negeri terpadat di dunia itu? Tulisan dalam dua bagian ini mengajak kita menapaki jejak para penginjil dan martir yang telah mengorbankan jiwa mereka bagi keselamatan bangsa di negeri yang kini dihuni lebih dari 1,3 miliar jiwa beserta ratusan juta jiwa lainnya dengan ras sama yang tersebar ke seantero sudut dunia.
Jejak Salib di Jalur Sutra
Suatu kali, Pastor Ricci SJ, seorang misionaris yang hidup di akhir abad keenam belas, mencari tahu apakah Injil pernah diwartakan sebelumnya di Tiongkok. Ia penasaran untuk mengetahui fakta ini. Hasilnya sia-sia, ia dan rekan-rekannya hanya menemukan sebuah lonceng tua dengan tulisan Yunani tentang agama Kristen. Sebuah penemuan yang tidak membuktikan apa pun, karena bisa saja lonceng itu milik saudagar asing yang tertinggal. Jadi kesimpulannya, benarkah mereka orang pertama yang membawa kabar baik ke negeri Tiongkok? Ternyata, penemuan beberapa puluh tahun kemudian membuktikan kenyataan yang mengejutkan. Injil sudah ada di negeri Cina sejak abad ketujuh!
Ketika para rahib Benediktin baru saja memulai penginjilan di Jerman, kala bangsa Viking masih menyembah berhala, Injil ternyata sudah mencapai Tiongkok pada awal abad ketujuh, dibawa oleh rahib Kristen Nestorian* dari Syria dan Persia melalui Jalur Sutra (jalur perdagangan Tiongkok—Eropa). Buktinya, sebuah penggalian di Kota Xi’an menemukan tugu atau prasasti yang terbuat dari marmer yang kemudian dikenal dengan sebutan Tugu Xi’an (Nestorian Stele). Xi’an (dahulu: Chang An) adalah simpul penting Jalur Sutra, juga ibu kota masa silam Tiongkok, sebelum dipindahkan ke Beijing (Peking) dan Nanjing (Nanking). Melalui 1900 kata yang terpahat pada tugu itu, terungkaplah bahwa seorang rahib/misionaris Syria bernama Alopen tiba di ibu kota Tiongkok pada tahun 635, di era Dinasti Tang. Selanjutnya dituliskan, bagian-bagian Injil diterjemahkan ke dalam bahasa Tiongkok kuno oleh Alopen dan dipersembahkan kepada Kaisar Taizong (T’ai Tsung) untuk disimpan di perpustakaan kerajaan. Kaisar menyatakan, ”Telah memeriksa prinsip-prinsip agama ini, kami menemukan bahwa agama ini murni dan istimewa … bermanfaat bagi umat manusia. Biarkan ia berkembang di seluruh kerajaan, dan hendaknya pejabat berwenang mendirikan gereja di ibu kota … yang dikelola oleh 21 rahib.” Seperti juga agama Budha (sejak abad kedua), Zoroaster, Manikeisme, dan belakangan Islam, agama Kristen dianggap agama dari Barat yang diterima dengan baik pada masa itu.
Gereja Nestorian berkembang dengan pesat pada masa Dinasti Tang. Penerus kaisar Taizong juga bersikap terbuka dan melindungi semua agama di Tiongkok. Ratusan biara didirikan di Xi’an maupun kota-kota lainnya, bahkan pada akhir abad kedelapan ketika seorang rahib bernama Ching-Ching (Adam) menjadi uskup, ia berhasil menerjemahkan banyak buku Kristen dengan bahasa China yang jauh lebih baik dari pendahulunya. Saat itu gereja mencapai zaman klasiknya dalam bidang sastra. Ching-Ching, putra seorang imam yang berasal dari Balkh (kota di Asia Tengah), memahami karya dan gaya klasik Tiongkok dan mampu menyisipkan kiasan-kiasan klasik dalam karyanya, sebagus penulis asli Tionghoa. Ia pula yang kemudian merintis pembuatan Prasasti Xian dan memahat tulisan yang indah dan bertahan sampai sekarang, lebih dari 1200 tahun kemudian. Bila suatu kali pembaca Nafiri berkunjung ke Xian, sempatkanlah mampir ke Museum Forest of Stele dimana prasasti itu disimpan; tidak hanya melulu menyambangi ‘pasukan terakota’ (makam kaisar pertama dinasti Qin) yang sangat terkenal di seluruh dunia.
Sayangnya Dinasti Tang tidak bertahan terlampau lama. Dinasti yang tercatat memberikan kemakmuran pada rakyat Tiongkok dan bersahabat pada perkembangan seni, budaya dan sains ini harus tumbang (907 M) dan Tiongkok memasuki masa tak menentu (Era Lima Dinasti dan Sepuluh Negara) selama setengah abad sebelum Dinasti Song (Sung) mengambil alih kerajaan (960 M). Runtuhnya Dinasti Tang juga menandai runtuhnya kekristenan babak pertama di Tiongkok. Penguasa baru di Tiongkok memusuhi semua yang berasal dari luar (Barat): gereja-gereja diruntuhkan; orang Kristen diburu, dianiaya, dan diusir. Semua literatur Kristen dan agama lain selain Taoism dan Konfusius harus dimusnahkan. Kekristenan benar-benar lenyap dari Tiongkok sehingga ketika misionaris kembali datang pada masa Dinasti Yuan (Mongol) berkuasa, mereka tak melihat seorang Kristen pun.
Gelombang Kedua Pewartaan Injil di Tiongkok
Bangsa Mongol yang dianggap barbar tiba-tiba muncul menembus tembok Cina dan gerbang kota raja di Beijing untuk mengakhiri kekuasaan Dinasti Song yang telah berkuasa selama lebih dari dua ratus tahun di Tiongkok. Jengis Khan, pemimpin bangsa Mongol yang bengis dan legendaris ternyata membawa kabar baik bagi perkabaran Injil di kawasan Asia Tengah. Saat itu, Kristen Nestorian telah dikabarkan kepada suku-suku Turki dan Mongol yang tinggal berserakan di kawasan padang rumput Asia Tengah selama ratusan tahun. Banyak suku-suku Mongol yang sudah memeluk Kristen bergabung dengan pasukan Jengis Khan dan penerusnya untuk bersama-sama menguasai area luas dari Bagdad sampai ke Beijing, mendirikan salah satu kekaisaran terbesar yang pernah tercatat di dunia. Sejak tahun 1271 untuk pertama kalinya seluruh Tiongkok dikuasai bangsa asing Mongol, ditandai munculnya Dinasti Yuan yang berkuasa hampir seratus tahun kemudian. Kubilai Khan (cucu Jengis Khan) yang ambisius menjadi kaisar Yuan pertama di Beijing dan terus memperluas daerah kekuasaannya ke segala penjuru dunia. Hanya beberapa invasi yang tak berhasil, salah satunya serangan ke Jawa Timur (1292), yang berhasil digagalkan oleh Raden Wijaya—pendiri Kerajaan Majapahit.
Kublai Khan, bersama dengan kedua saudaranya yang memimpin tentara Mongol, dibesarkan oleh seorang ibu kandung bernama Sorkaktani-Beki, bangsawan Kristen dari suku Kerait (salah satu suku Mongol yang mayoritas beragama Kristen Nestorian). Itulah sebabnya agama Kristen mendapat tempat kembali di Tiongkok. Kristen Barat (Katolik) yang berpusat di Roma juga turut mengirimkan misionarisnya pada periode ini. Monte Corvine, seorang misionaris Fransiskan, membangun gereja-gereja di sekitar Beijing. Ia berhasil membaptis sedikitnya enam ribu orang Mongol dan Tionghoa. Pada masa ini pula, Marcopolo—seorang pedagang, intelektual, dan juga duta Paus—datang menghadap Kaisar. Ia bertugas sebagai penerjemah dan gubernur selama enam belas tahun di Beijing.
Ketika seorang misionaris menantang Kubilai Khan untuk menerima Kristus sebagai juru selamat, ia yang percaya pada semua agama dan nabi, menjawab ringan, ”Ada empat nabi yang memulai agama di bumi ini. Orang Kristen menghormati Yesus, orang Yahudi Musa, orang Islam Muhammad, dan orang Buddhis Buddha. Aku menghormati keempatnya. Aku berdoa supaya yang paling mulia di antara mereka itu menolong saya,” kemudian ia melanjutkan dengan sinis, ”Bagaimana engkau mengharapkan aku menjadi seorang Kristen? Apakah kamu tidak sadar, bahwa di bagian dunia ini orang Kristen begitu bodoh, sehingga tidak menghasilkan apa-apa dan tidak berkuasa …. Tapi pulanglah kepada Paus dan mintalah seratus orang yang ahli dalam agamamu …. Lalu aku akan dibaptis bersama semua bangsawanku dan seluruh rakyat mereka. Maka, di kawasan ini akan lebih banyak orang Kristen daripada di mana pun juga”. Kubilai Khan menyindir masyarakat Kristen di Asia Barat dan Tengah yang miskin, tertekan, dan tak memiliki akar yang kuat. Ia balik menantang Roma (pusat kekristenan Barat yang lebih berkembang) untuk mengirimkan ratusan misionaris ke Beijing. Amat disayangkan, Paus hanya mengirimkan tiga orang utusan lagi, dan hanya satu yang mencapai Beijing. Dua lainnya mati di tengah jalan saat melintasi Jalur Sutra yang mahapanjang dan tidak aman.
Sebuah kesempatan emas menobatkan bangsa terbesar di dunia kembali terlewatkan. Pengganti Kubilai Khan semakin tak ramah kepada umat Kristen, apalagi setelah Dinasti Yuan ditumbangkan oleh Dinasti Ming (1368–1644) yang sangat chauvinist. Dendam bangsa Han (mayoritas di China) terhadap orang Mongol yang dianggap penjajah sangatlah mendalam. Kebencian itu merembet kepada budaya asing termasuk agama Kristen yang dianggap mendukung kekaisaran Mongol. Hanya satu tahun setelah Dinasti Ming yang diawali oleh pemberontakan para petani itu menguasai seluruh Tiongkok, semua orang Kristen Nestorian dan Katolik diusir dari Daratan Tiongkok. Kekristenan kembali lenyap selama dua ratus tahun sampai kedatangan kembali misionaris Barat—salah satunya Pastor Ricci SJ—di awal tulisan ini. Kali ini, dengan penyertaan Tuhan, Injil kembali ditanamkan di Tiongkok dan berbeda dengan pendahulunya, benih itu tertanam dalam dan tak seorang pun yang dapat mencabutnya kembali. Apalagi setelah misionaris Protestan juga turut datang membanjiri daratan Tiongkok pada abad-abad berikutnya; benih itu mulai tumbuh, berakar kuat, dan kini berbuah lebat.
(Bersambung)
Catatan :
*Penjelasan tentang Kristen Nestorian bisa dilihat pada rubrik “Teropong” Buletin Nafiri edisi Maret 2016 (Suriah: Negeri Bersimbah Darah dan Air Mata)
Sumber:
- Christianity in Asia, Jilid I, Dari Yerusalem sampai ke Beijing, A. Heuken SJ, Yayasan Cipta Loka Caraka, cetakan pertama, 2008
- http://www.christiansinchina.com/history-of-christianity-in-china/
- https://en.wikipedia.org/wiki/Christianity_in_China
- Financial Times : The Rise of Christianity in China (https://www.ft.com/content/a6d2a690-6545-11e4-91b1-00144feabdc0)