Penulis: Pdt. Dany Christopher
Pembacaan Alkitab
Lukas 1:34-38, 45
34 Kata Maria kepada malaikat itu: “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?” 35 Jawab malaikat itu kepadanya: “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah… 37 Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil.” 38 Kata Maria: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” Lalu malaikat itu meninggalkan dia.
45 Dan berbahagialah ia, yang telah percaya, sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan, akan terlaksana.
Bertahun-tahun yang lalu saya pernah membaca sebuah buku yang berjudul: You Can If You Think You Can. Ini adalah salah satu dari sekian banyak buku karya Norman Vincent Peale yang mempopulerkan positive thinking. Bagi Peale, inilah iman. Iman berarti percaya bahwa kita bisa. Luar biasa. Iman adalah semacam sikap mental (mental attitude). Iman ini yang sekarang cukup populer didengungkan di masyarakat. Bagi kita yang senang menonton film, tidak jarang kita mendengar pernyataan: just believe in yourself.
Namun jika kita membaca kisah Maria dengan kacamata iman versi Peale, maka bisa kita dibuat bingung. Tidak ada pernyataan dari malaikat supaya Maria believe in herself. Tidak ada pula self talk dari Maria yang menyatakan: you can if you think you can. Padahal di ayat 45 Maria dipuji karena imannya. Jadi apa sebenarnya ajaran Alkitab mengenai iman?
Dari kisah Maria, ada dua hal yang diajarkan terkait iman. Pertama, kita harus beriman kepada Allah bukan kepada diri sendiri. Bisa jadi ada yang nyeletuk: boring, kuno, udah tahu dari dulu. Memang ini bukan sesuatu yang baru. Namun, kebenaran tidak selalu harus baru bukan? Ketika Maria bertanya bagaimana mungkin ia bisa mengandung padahal ia masih perawan, malaikat menjawab bahwa kuasa Allahlah yang akan membuat hal tersebut terjadi. Setelah itu malaikat berkata: sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil (ay. 37). Seringkali yang menjadi masalah kita bukanlah tidak beriman, tetapi salah meletakkan iman. Kita tidak yakin-yakin amat dengan penyertaan dan janji Allah. Kita lebih senang dan lebih percaya pada diri kita – entah naluri, analisis, strategi, dan sebagainya. Beriman kepada Allah berarti kita harus lebih percaya pada janji dan tuntunan Allah dibanding percaya ada otak dan naluri kita.
Tunggu dulu, kan banyak orang yang memberi ‘kesaksian’ success story mereka dan tidak ada kaitannya dengan Allah. Benar. Kita bisa saja berhasil dengan positive thinking, tanpa Allah. Tapi itu bukanlah iman Kristen. Iman Kristen berarti menaruh percaya sepenuhnya kepada Allah dan kuasa-Nya. Terus, tahu dari mana saya sudah beriman pada Allah dan bukan pada diri sendiri? Salah satu cara sederhananya adalah: doa. Doa adalah ukuran iman kita. Seberapa sering kita berdoa kepada Tuhan (di luar doa makan dan doa tidur)? Jika kita sedikit berdoa, maka kita sebenarnya berkata: Allah dan kuasa-Nya tidak begitu penting dan relevan dalam hidup saya. Jika kita sudah mundur dalam kehidupan doa kita, mari bertobat dan sisihkan lagi waktu untuk berdoa; karena doa adalah tanda dari seseorang yang beriman kepada Allah dan bukan kepada diri.
Kedua kita harus memiliki iman yang taat, bukan sebatas iman yang tahu. Ingat kisah Maria tadi? Maria bertanya bagaimana ia bisa mengandung dan malaikat menjawab kuasa Allah akan menaungi dan memungkinkan hal itu terjadi. Apa respon Maria setelah itu? Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu (ay. 38). Setelah mendengar penjelasan malaikat, Maria berhenti bertanya macam-macam. Maria tidak tanya apa S&K nya (syarat dan ketentuan). Maria tidak bertanya apakah ada asuransi terhadap segala risiko yang mungkin harus ia hadapi. Bagaimana jika nanti kehidupan sosialnya hancur berantakan karena ia “hamil di luar nikah”? Bagaimana jika Yusuf tidak mau menerima dia? Bagaimana jika nanti ia di-bully dan diomongin macam-macam? Semua itu tidak ditanya Maria. Maria percaya, terima, taat.
Iman Kristen yang sejati adalah iman yang diikuti oleh ketaatan, bukan sekadar tahu, tapi takut melangkah. Iman yang sejati adalah iman yang berani melangkah.
Tunggu dulu, bukankah itu sama saja dengan blind faith (iman yang buta)? Itu kan bunuh diri namanya. Jawabannya: bukan. Blind faith berarti memutuskan melangkah tanpa ada jaminan apa pun. Maria berani melangkah karena ada jaminan penyertaan yang jelas: Allah dan kuasa-Nya. Ini penting karena keberanian kita untuk percaya dan taat sebanding dengan pengenalan kita akan Allah. Jika kita baca nyanyian Maria di Lukas 1:46-55, maka kita bisa melihat bahwa Maria bukan seorang remaja kaleng-kaleng, remaja yang tidak tahu apa-apa. Ia kenal siapa Allah yang ia sembah. Dan ini sebabnya ia berani percaya dan taat.
Mari kita belajar dari Maria untuk memiliki iman yang benar. Iman yang percaya kepada Allah dan bukan pada diri sendiri. Iman yang disertai ketaatan bukan sekedar tahu.
***
Pdt. Dany Christopher adalah Dosen tetap STT Amanat Agung dan Hamba Tuhan di Gepembri Kemurnian Jakarta.