Nyanyian himne selalu memiliki tempat khusus di hati kita karena isinya yang memberikan penghiburan, inspirasi, dan sarana untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Di antara repertoar himne yang luas, “Here I Am, Lord” muncul sebagai komposisi yang sering dikumandangkan di gereja.
Himne ini ditulis oleh Dan Schutte—seorang komposer dan musisi liturgi Amerika—pada tahun 1981 sebagai ungkapan penyerahan diri dan komitmen terhadap panggilan Allah. Mari kita selidiki kisah menawan di balik himne yang kuat ini dan jelajahi dampaknya yang mendalam pada kehidupan Kristen.
Akar dari “Here I am, Lord” dapat ditelusuri kembali di kitab Yesaya. Dalam Yesaya 6: 8, Nabi Yesaya mengalami perjumpaan transformatif dengan Tuhan. Dalam perjumpaan ilahi ini, Allah bertanya, “Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?” Yesaya, dalam kerendahan hati dan kemauannya, menanggapi dengan kata-kata yang tegas, “Inilah aku; utuslah aku!” Pertukaran penyerahan diri dan pengabdian yang tulus ini membentuk inti dari lirik himne tersebut.
I the Lord of sea and sky
I have heard my people cry
All who dwell in dark and sin
My hand will save
Dan Schutte, penulis himne ini membuka pujiannya dengan pernyataan yang kuat bahwa Allah yang menciptakan langit, bumi, laut, dan segala isinya (Nehemia 9: 6). Allah yang demikian hebat juga adalah Allah yang mendengarkan tangisan umat-Nya, seperti yang dinyatakan oleh Raja Daud dalam Mazmur 40: 1, “Aku sangat menanti-nantikan TUHAN; lalu Ia menjenguk kepadaku dan mendengar teriakku minta tolong.” Schutte dengan indahnya merangkai kalimat selanjutnya dengan menunjukkan kasih Allah bagi kita, manusia yang berdosa.
I who made the stars of night
I will make their darkness bright
Who will bear my light to them?
Whom shall I send?
Bait selanjutnya dari himne ini masih diawali dengan pernyataan “Siapa Tuhan” dan keinginan-Nya untuk memperhatikan umat yang dikasihi-Nya. Namun di kalimat yang ketiga, himne ini mulai membukakan maksud Tuhan dalam memakai manusia sebagai pekerja-pekerja bagi Dia. Ia ingin mengutus kita dalam misi-Nya.
Saya pribadi merasakan kesedihan penulis himne ini ketika mencermati bait ketiga:
I, the Lord of snow and rain
I have borne my people’s pain
I have wept for love of them
They turn away
Alkitab mencatat Tuhan Yesus menangis bersama-sama keluarga Lazarus (Yohanes 11: 35). Tuhan sungguh mengerti keadaan manusia. Namun seringkali manusia—termasuk saya dan Anda—mendukakan Sang Juru Selamat. Kita tidak mengacuhkan panggilan Tuhan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Here I am Lord,
Is it I Lord?
I have heard you calling in the night
I will go Lord,
If you lead me,
I will hold your people in my heart
Ketika membaca refrein dari himne ini, bukankah kita teringat pada panggilan Allah bagi Samuel dalam kegelapan malam? Seperti Samuel dan Yesaya, Tuhan Allah juga memanggil kita—dengan cara-Nya yang ajaib—untuk sebuah misi khusus dalam menyebarkan kasih Tuhan yang besar. Begitu indah sang penulis meminta Allah untuk memimpin jalannya. Aku akan pergi Tuhan, asalkan Kau memimpin jalanku.
Di akhir himne ini, kata-kata yang dipilih penulis adalah “Aku akan menggenggam umat-Mu di hatiku”. Begitu indah dan dalam makna dari kalimat terakhir ini. Komitmen yang diharapkan dari pelayanan kita bukan hanya bekerja ini itu, lalu selesai; melainkan benar-benar membawa umat-Nya yang kita layani ke dalam hati kita. Pastilah dengan demikian, kita mendoakan secara sungguh-sungguh umat Tuhan yang kita layani tersebut.
Bersiap dan bersedialah diutus oleh Tuhan, selamat melayani-Nya dengan melayani umat yang dikasihi-Nya.