Penulis: GI. TSL Sri Susilowati
Nats Alkitab: Lukas 22:54–62; 31–34
Setiap orang pasti memiliki dark side alias sisi gelap dalam dirinya. Terkadang sisi gelap tersebut tidak disadari oleh diri sendiri. Tak terkecuali Petrus yang adalah murid Yesus. Dia pun memiliki sisi gelap dalam dirinya.
Jika kita mempelajari kehidupan Petrus, kita akan mendapati bahwa Petrus adalah seorang nelayan besar yang menghidupi keluarga dari mencari ikan di Danau Galilea. Seorang nelayan sudah biasa menghadapi badai, gelombang, dan angin yang dahsyat. Itu juga sebabnya Petrus memiliki suara yang keras dan lantang. Kalau dia bersuara lembut, tidak mungkin perintahnya mengalahkan angin besar dan badai yang sewaktu-waktu akan menyerang mereka ketika dalam perjalanan mencari ikan. Petrus memiliki suara yang keras, spontan, dan sifatnya juga keras. Namun, Petrus juga memiliki jiwa kepemimpinan sehingga di antara para murid, Petrus lah yang paling menonjol.
William Steuart McBirnie dalam tulisannya di The Search for the Twelve Apostles mencoba menggambarkan tentang Petrus dan mengatakan:
Petrus adalah seorang yang selalu ingin menonjolkan diri, suka mengambil posisi paling depan dan menjadi juru bicara. Petrus bukanlah seorang yang rendah hati; tetapi sombong, egois, suka pamer, besar mulut, kasar, dan impulsif. Dia selalu bertindak lebih dahulu dan berpikir kemudian. Petrus memiliki keunikan karakter yang merupakan kombinasi keberanian dan sekaligus sifat pengecut, kekuatan yang besar namun juga memiliki karakter yang tidak stabil.
Menariknya, meski mengetahui karakter Petrus, Yesus tetap memanggil Petrus menjadi murid-Nya. Murid yang setiap hari bahkan setiap waktu bersama-sama dan dekat dengan Yesus. Dalam beberapa kesempatan pun Yesus hanya mengajak Petrus, Yohanes, dan Yakobus; bukankah ini berarti Petrus masuk dalam lingkaran inti dari pelayanan Yesus? Secara pribadi Petrus bersama Yohanes dan Yakobus mendapat kesempatan melihat kehidupan dan pelayanan Yesus yang tidak dilihat oleh murid-murid yang lain.
Murid yang setiap saat bersama dengan Yesus dan setiap waktu melihat secara langsung apa yang dilakukan oleh Yesus, kali ini gagal! Petrus gagal melindungi Gurunya dan ia gagal menepati janjinya! Petrus gagal mempertahankan integritasnya dan dia menyangkal Gurunya sendiri! Keempat Injil mencatat kegagalan Petrus. Ironis sekali!
Kisah penyangkalan Petrus diawali dengan peristiwa penangkapan Yesus. Malam itu sudah pasti menjadi malam yang mencekam bagi para murid sehingga Alkitab mencatat semua murid melarikan diri dan meninggalkan Yesus (Matius 26: 56; Markus 14: 50). Melihat Gurunya ditangkap, Petrus berusaha melawan (Yohanes 18: 10) tetapi pada akhirnya ia hanya bisa mengikuti dari jauh. Petrus tidak berani dengan terang-terangan mengikuti Gurunya yang ditangkap. Ia mengikuti dari jauh dan akhirnya Petrus berada di tengah-tengah orang-orang yang berkumpul di depan rumah Imam Besar, tempat Yesus ditahan.
Petrus merasa aman di tengah kerumunan orang, namun tanpa Petrus sadari, seorang hamba perempuan sedang mengamat-amati Petrus, kemudian berkata, “Orang ini juga bersama-sama dengan Dia.” Spontan Petrus menjawab, “Bukan, aku tidak kenal Dia!” Penyangkalan yang pertama sudah terjadi tanpa Petrus sadari.
Tidak lama kemudian, seorang yang lain juga melihat Petrus dan berkata, “Engkau juga seorang dari mereka!” Tetapi sekali lagi Petrus menjawab, “Bukan, aku tidak!” Tanpa disadarinya Petrus sudah menyangkal untuk kedua kalinya!! Dan sayangnya Petrus sama sekali tidak mengingat bahwa Yesus sudah memperingatkannya, bahwa ia akan menyangkal Yesus tiga kali.
Setelah penyangkalan Petrus yang kedua, sebenarnya Petrus punya waktu untuk pergi dari tempat itu dan penyangkalan yang ketiga tidak perlu terjadi. Sampai akhirnya … kira-kira satu jam kemudian—sebuah rentang waktu yang cukup panjang—penyangkalan yang ketiga terjadi. Orang-orang yang sudah mengamat-amati Petrus, memperhatikan setiap tingkah laku Petrus dan setiap kata-kata yang dikeluarkan oleh Petrus ketika ia berinteraksi dengan orang-orang yang ada di sekitarnya selama berdiang malam itu.
Seorang yang lain lagi berkata dengan tegas! “Sungguh, orang ini juga bersama-sama dengan Dia, sebab ia juga orang Galilea.”
Saat itu seharusnya kebohongan Petrus sudah terbongkar. Petrus tidak dapat membohongi orang-orang karena ia berpenampilan sebagai orang Galilea dan logat bicara Petrus adalah logat bicara orang-orang dari daerah Galilea. Petrus tidak mungkin lagi berbohong tetapi kepengecutan Petrus membuat ia memilih jalan lain. Sekalipun ia mengasihi Gurunya, tetapi rasa takut membuat Petrus memilih jalan penyangkalan.
Alih-alih berkata, “Ya, aku adalah murid Yesus …,” malahan Petrus berteriak dengan spontan, “Bukan, aku tidak tahu apa yang engkau katakan.” Meski orang-orang di situ sudah mengenali Petrus sebagai orang Galilea tetapi ia tidak mengakui bahwa ia murid Yesus, bahkan Injil Markus mencatat: Maka mulailah Petrus mengutuk dan bersumpah, “Aku tidak kenal orang yang kamu sebut-sebut ini!” (Markus 14: 71).
Di balik sosok Petrus yang keras dan garang, terdapat sisi pengecut. Seorang Uskup bernama Ryle, pernah berkata dalam sebuah tafsiran:
“Petrus sangat ingin tahu apa yang akan terjadi terhadap Yesus, tetapi ia tidak cukup berani untuk dekat dengan Dia sebagai murid. Setiap orang dapat melihat bahwa Petrus yang gelisah itu di bawah pengaruh perasaan yang bercampur aduk—kasih membuat dia malu untuk melarikan diri dan bersembunyi sedangkan kepengecutan membuat dia tidak berani menunjukkan dirinya yang berdiri teguh di sisi Tuhan. Karena itu ia memilih jalan tengah yang terbukti paling buruk yang dapat diikutinya.”
Sebelum penyangkalan itu terjadi, Yesus sudah memperingatkan Petrus bahwa ia akan menyangkal mengenal Yesus. Keempat Injil mencatat peringatan Yesus kepada Petrus, bahkan secara khusus Lukas mencatat peringatan Yesus kepada Petrus dengan kalimat, “Simon, Simon, lihat, Iblis telah menuntut untuk menampi kamu seperti gandum.” (Lukas 22: 31). Ada oknum yang ketiga di antara Yesus dan Petrus yaitu Iblis. Iblis siap menjatuhkan Petrus yang merasa kuat—tak tergoyahkan—oleh karena itu Yesus memperingatkan Petrus untuk berjaga dan berdoa. Jika saja Petrus menuruti peringatan Gurunya untuk berdoa, maka kisah penyangkalan tersebut tidak akan terjadi.
Petrus merasa dirinya kuat sehingga ketika Yesus berkata, “Malam ini kamu semua akan tergoncang imanmu karena Aku.” (Matius 26: 31; Markus 14: 27), Petrus menjawab, “Biarpun mereka semua tergoncang imannya karena Engkau, aku sekali-kali tidak.” (Matius 26: 33; Markus 14: 29).
Juga pada waktu Yesus berkata, “Tetapi aku telah berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau, jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu.” (Lukas 22: 32). Petrus kembali menjawab, “Tuhan, aku bersedia masuk penjara dan mati bersama-sama dengan Engkau!” (Lukas 22: 33).
Terakhir, ketika Yesus berkata, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya malam ini, sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal Aku tiga kali.” (Matius 26: 34; Lukas 22: 34) Petrus semakin bersungguh-sungguh menjawab, “Sekalipun aku harus mati bersama-sama Engkau, aku takkan menyangkal Engkau.” (Matius 26: 35; Markus 14: 31), bahkan Injil Markus mencatat jawaban Petrus yang terakhir ini diiyakan oleh semua murid yang lain. Petrus merasa yakin dia dapat teguh berdiri sehingga ia memberikan jawaban-jawaban pada waktu Yesus memperingatkannya. Tetapi ternyata Petrus menelan kembali janji-janji yang telah diucapkannya dengan gagah. Ia tidak dapat menepati janjinya. Dengan suara keras ia menjawab peringatan Yesus, demikian pula dengan suara keras dan lantang ia menyangkal Tuhannya.
Setelah Petrus menyangkal untuk ketiga kalinya, berkokoklah ayam dan terjadi perubahan drastis di ayat 61: “Lalu berpalinglah Tuhan memandang Petrus.” Petrus yang tadinya bersuara keras menyangkal Yesus seketika terdiam melihat Yesus menatapnya. Pandangan Yesus bukanlah pandangan sekelebat tetapi bahasa yang dipakai menunjukkan sebuah tatapan yang dalam. Tatapan Yesus mengingatkan Petrus akan janji yang baru beberapa jam yang lalu dibuatnya. Tatapan mata Yesus masuk menembus hati Petrus; menghancurkan kesombongan Petrus, menghancurkan keegoisan Petrus yang ingin menyelamatkan diri, menghancurkan pertahanan diri Petrus, dan memperlihatkan bahwa ia adalah seorang penakut dan pengecut. Meski dalam jarak yang tidak terlalu dekat, namun tatapan Yesus menyatakan bahwa Yesus mengetahui penyangkalan yang baru saja terjadi.
Tatapan Tuhan Yesus membuat hati Petrus bergemuruh, “Apa yang baru saja engkau lakukan Petrus? Engkau baru saja menyangkal Gurumu sendiri. Kau berjanji imanmu tidak akan tergoncang? Mana janjimu bahwa engkau mau masuk penjara dan mau mati demi Dia yang engkau kasihi? Apakah engkau bersungguh-sungguh ketika engkau berjanji tidak akan menyangkal Dia sekalipun harus mati bersama-sama dengan Yesus? Semua janjimu palsu! Engkau hanya ingin terlihat baik di depan Gurumu dan murid-murid yang lain. Engkau tidak lebih hanya seorang pecundang, pengecut!”
Petrus tidak tahan melihat tatapan Yesus yang menghancurkan kesombongannya. Tatapan Yesus meremukkan hatinya yang keras yang tidak mau mentaati peringatan Tuhannya. Yesus tidak memandangnya dengan marah melainkan tatapan penuh kasih. Tak kuasa melihat tatapan Yesus, Petrus pergi keluar dan menangis dengan sedihnya. Petrus menangisi dosanya. Ia sangat menyesali dosa penyangkalannya.
Tatapan mata Yesus kepada Petrus bukanlah tatapan dendam yang ingin membalas perbuatan Petrus yang telah melukai-Nya, tetapi pandangan penuh kasih yang seakan berkata, “Petrus, Aku tahu engkau baru saja menyangkal bahwa engkau mengenal Aku …. Aku tahu engkau takut mengakui bahwa Aku adalah Guru dan Tuhanmu …. Aku tahu Engkau tidak berani ikut menderita dengan-Ku…. Aku tahu dosamu besar, tetapi kasih-Ku lebih besar daripada dosa penyangkalanmu. Bila engkau mau bertobat, Aku akan menerima engkau kembali. Aku tidak akan membuangmu, bahkan Aku akan memulihkanmu jika engkau mau bertobat dan kembali kepada-Ku.”
Tatapan kasih Yesus merupakan penggenapan dari perkataan Yesus kepada Petrus dalam Lukas 22: 32, “Tetapi Aku telah berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau, jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu.” Setelah Yesus bangkit dari kematian, Yesus memulihkan keadaan Petrus dengan pertanyaan, “Apakah engkau mengasihi Aku?” Tiga kali penyangkalan Petrus, dikontraskan dengan tiga kali Yesus bertanya, “Apakah engkau mengasihi Aku?” Pertanyaan Yesus mengingatkan Petrus bahwa ia tidak akan mampu berdiri sendiri, ia harus bersandar pada Tuhan. Integritas Petrus kembali ditegakkan ketika ia menyadari ketidakberdayaannya dengan perkataan, “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Dan setelah Petrus dipulihkan, Tuhan memakainya dengan dahsyat. Banyak jiwa dimenangkan.
Mari kita refleksikan sejenak: Saat kita menyambut Jumat Agung kali ini, sama seperti ketika Yesus memandang Petrus dua ribu tahun yang lalu, Dia juga saat ini sedang melayangkan pandangan-Nya pada kita.
Apa yang akan Yesus dapati dalam hati kita? Apakah Yesus melihat hati yang lelah oleh tekanan. Atau hati yang remuk oleh karena penderitaan? Ataukah Yesus melihat dosa dalam hati kita? Dosa penyangkalan! Mungkin kita tidak menyangkal Tuhan dalam perkataan, tetapi dengan sikap kita. Kita mengaku bahwa kita adalah anak Tuhan, tetapi kita tidak pernah menyediakan waktu untuk berelasi dengan Bapa kita. Tinggal di tengah keluarga Kristen, tetapi tidak pernah berdoa waktu mengambil keputusan-keputusan—semua berjalan sesuai keinginannya masing-masing. Dalam pekerjaan sikut sana sini, suap sana sini—menganggap Tuhan tidak ada dan tidak tahu apa yang kita lakukan. Juga dalam pelayanan: Berusaha tampil seluar-biasa mungkin, tetapi bukan buat Tuhan melainkan untuk menyenangkan orang lain dan memuaskan diri sendiri dengan pujian-pujian mereka. Bukankah sikap-sikap ini termasuk penyangkalan kita atas keberadaan Tuhan dan penyangkalan bahwa kita adalah murid Kristus?
Mari kita berdiam diri di hadapan Tuhan dan membiarkan Tuhan mengoreksi diri kita masing-masing. Tidak ada yang dapat kita sembunyikan di hadapan Tuhan, seluruh kehidupan kita terbuka di depan mata Yesus. Jika Tuhan mengingatkan dosa kita, mari kita mengakuinya. Datanglah kepada-Nya, mohon ampunan dan mohon Tuhan memulihkan kita.
Rindukah kita dipulihkan oleh Tuhan? Sama seperti Yesus berkata kepada Petrus, “Kasih-Ku terlalu besar dibanding dengan dosamu, Petrus. Dan Aku siap mati di kayu salib untuk menggantikanmu.” Perkataan yang sama disampaikan Yesus kepada kita. Kasih-Nya besar buat kita, kasih-Nya nyata dibuktikan di atas kayu salib dan Ia pasti akan memulihkan kita.
(Diambil dari khotbah Minggu Sengsara di GKY BSD tanggal 6 April 2023)