Oleh: Pdt Timotius Witarsa (1955 – 2025)


Pdt. Timotius Witarsa sudah meninggalkan kita pada 24 Juni 2025. Sebagai Hamba Tuhan yang pernah melayani di GKY BSD sejak 2007, tentu sebagian kita mengenalnya dengan baik, apalagi kami tim Nafiri yang pernah dipimpin Beliau selama beberapa tahun. Pembawaannya yang ramah dan gaya bicaranya yang khas, serta ketulusan dan kehangatan pribadinya akan selalu dikenang oleh banyak jemaat di gereja kita. Sebagai penghormatan untuk Alm. Pdt Timotius dan untuk mengenang Beliau melalui karya-karyanya, berikut adalah salah satu tulisannya yang dimuat di Nafiri edisi Paskah, April 2009.
Hidup untuk Berbuah
“Bukan kamu yang memilih Aku tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu.”
— Yesus Orang Nazareth
Satu
Konon, seorang bijak pernah bertutur kehidupan yang sepi makna dan hampa manfaat adalah kehidupan yang tak layak dijalani. Meski petuah ini keras dan menjurus pedas, namun harus diakui kebenaran tentang pemaknaan hidup sangat kental termuat di dalamnya. Maksudnya, hidup yang sedang kita lakoni, bukanlah kehidupan yang muaranya adalah kesia-siaan. Hidup terlalu agung untuk kita nodai dengan pencapaian-pencapaian yang ala kadarnya.
Ironisnya, kebanyakan orang, termasuk insan Kristiani, berpolah-tingkah sebaliknya. Hidup sekadar hidup. Alhasil, jangankan pencapaian-pencapaian minimal yang dapat berkontribusi bagi limpahnya kehidupan, yang terjadi malah pemborosan kalau tidak perusakan hidup yang ujung-ujungnya berakhir pada penyesalan dan tangan hampa. Rasul Paulus berkata, ”Sebagai teman-teman sekerja, kami menasihatkan kamu supaya kamu jangan membuat menjadi sia-sia kasih karunia Allah, yang telah kamu terima” (2 Korintus 6:1).
Dua
Menjelang perpisahan dengan murid-murid-Nya, Tuhan Yesus memberi penegasan, ”Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu…” Pernyataan Tuhan Yesus di atas menegaskan bahwa inisiatif kepengikutan murid-murid pada Gurunya, bukanlah datang dari diri mereka, tetapi dari pihak Allah. Implikasinya jelas, bukan kita yang telah memilih Tuhan, melainkan Tuhan yang datang dengan panggilan dan tawaran karena kasih-Nya.
Pertanyaan yang menyembul adalah, untuk apa kita dipanggil? Injil Yohanes 15:11-17 mencatat: “Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya sukacita-Ku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh. Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya. Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu. Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku. Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu. Inilah perintah-Ku kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain.”
Ayat-ayat ini memberikan informasi tentang banyak hal yang menjadi tujuan panggilan yang dimaksud. Salah satunya adalah “…supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap…” Pergi dan menghasilkan buah adalah tujuan mulia pemanggilan dan pemilihan-Nya atas diri kita.
Sekarang, bagaimana tujuan tersebut dapat tercapai? Pertama, untuk dapat menghasilkan buah, kita harus pergi. Pergi ke dalam dunia untuk mengumandangkan kepada mereka bahwa Allah pun berkemurahan dan beranugerah kepada mereka. Dalam kemurahan dan anugerah tersebut, Allah berkehendak menyelamatkan mereka. Kedua, di mana pun kita berada, apapun yang tengah kita kerjakan, selalu dan selalu ingatkan diri ini bahwa: aku ada untuk berkarya. Berkarya melalui mulut bibirku, bahwa Allah menguasai dunia.
Tatkala kita menggenapkan tujuan panggilan mulia ini, Tuhan Yesus berjanji, “…Apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu” (Yohanes 15:16).
Tiga
Dalam kiprah pelayanannya, Yohanes Pembaptis menyapa, menegur dan menasihati pendengarnya, ”…hasilkanlah buah-buah yang sesuai dengan pertobatan” (Lukas 3:8). Adapun buah-buah pertobatan yang dimaksudkan adalah tanda-tanda perubahan perilaku kehidupan yang dihasilkan oleh transformasi Tuhan dalam diri seseorang melalui firman-Nya. Tegasnya, kidung yang dinyanyikan bukanlah “Aku masih seperti yang dulu” melainkan “Aku berubah, sungguh ku berubah waktu ku’srahkan semuanya.”
Selanjutnya, merujuk pada Lukas 3:10-14 yang merupakan respons orang banyak pada nasihat suara dari padang gurun, spesifikasinya jelas: “Barangsiapa mempunyai dua helai baju, hendaklah ia membaginya dengan yang tidak punya, dan barangsiapa mempunyai makanan, hendaklah ia berbuat juga demikian. Jangan menagih lebih banyak daripada yang telah ditentukan bagimu. Jangan merampas dan jangan memeras dan cukupkanlah dirimu dengan gajimu.”
Apakah relevansi hal-hal di atas dengan kita? Arahnya adalah jelas, metode yang paling mumpuni membawa dunia kepada Kristus adalah mendemonstrasikan buah-buah pertobatan. Dengan menjadi Kristen sejati, di mana tertampak di dalamnya kehebatan buah-buah penetrasi Kerajaan Allah, akan menarik perhatian orang-orang sekitar untuk berkerinduan memiliki kehidupan yang serupa.
Hal yang senada tampak pula pada perebakan dan perambatan kekristenan pada gereja purba. Dunia sekitar terhisap masuk dalam lingkaran kekristenan, salah satu pintu masuknya adalah, gaya hidup orang Kristen. Gaya hidup tolong-menolong. Gaya hidup berbagi dalam kasih. Gaya hidup saling menopang. Gaya hidup seia-sekata dalam suka dan derita. Gaya hidup ketaatan dan kesetiaan mutlak kepada Yesus Kristus.
Selanjutnya, di tengah dunia yang bermandikan dosa dan hawa nafsu, orang Kristen memiliki kekudusan dan usaha yang gigih memerangi dosa. Seseorang yang hidup pada zaman itu berkomentar, “Lihatlah mereka (=orang Kristen)! Tidakkah kita merindukan kehidupan yang seperti itu.” Ingatlah, “satu perbuatan lebih berkata-kata daripada seribu perkataan.” Hanya apabila tata kehidupan kita memiliki nilai tambah, maka usaha pergi dan menghasilkan buah barulah menemukan korelasinya.
Empat
Melengkapi buah pertobatan untuk keberhasilan usaha pergi dan menghasilkan buah adalah buah bibir, sebagaimana disinggung oleh penulis kitab Ibrani dalam Ibrani 13:15: “Sebab itu marilah kita, oleh Dia, senantiasa mempersembahkan korban syukur kepada Allah, yaitu ucapan bibir yang memuliakan nama-Nya.” Ternyata buah bibir yang dimaksudkan di sini merujuk pada bibir yang memuliakan Allah, yakni pengucapan syukur.
Dalam lalu lintas kehidupan yang lazim, tak pelak lagi, kata dan kalimat memiliki tempat yang strategis. Padanya terekat kuat penerimaan atau penolakan. Tegak atau runtuh. Gembira atau kecewa. Benci atau rindu. Memberkati atau mengutuk. Bersyukur atau mengeluh.
Sayangnya, tak terkecuali orang Kristen, gagal memahami dan mematuhi hukum ini. Tidak sedikit orang Kristen yang semangat hidup dan sapuan kata dan kalimatnya adalah kritik yang destruktif. Pendek kata, selalu ada kegelisahan dalam diri apabila tak mensosialisasikan niat-niat menyerang dan meruntuhkan orang lain.
Di pihak lain, nuansanya adalah keluh kesah. Di sana-sini, apapun tampilan yang Tuhan tampilkan dalam wajah kehidupan, rangkumannya adalah kurang dan kurang. Warna berikutnya adalah kebetulan. Berkat dan segala yang menyertainya selalu diberi label kebetulan, bukan pemberian dari ‘Atas’. Alhasil, bukannya menghitung dan mensyukuri berkat yang ada, yang terjadi adalah penumpukan poin-poin keberuntungan.
Di tengah serba-serbi pilihan hidup di atas, firman Tuhan mengajak kita memilih hidup yang berbuahkan pengucapan syukur. Dalam bahasa Rasul Paulus, mengucap syukur dalam segala hal dan keadaan. Apakah dampak yang ditimbulkan oleh gaya hidup mengucap syukur? Pribadi yang menerapkan gaya hidup ini adalah pribadi yang memiliki kebebasan jiwa dari penjara dan deraan situasi dan kondisi.
Dengan mengibarkan panji-panji pujian syukur seolah-olah ia berkata: apapun yang hendak didiktekan situasi dan kondisi, aku telah keluar sebagai pemenang. Pengaruhnya, dunia sekitar kita akan menilai betapa nyamannya meniti kehidupan kalau kendaraannya adalah nikmat dan syukur. Sebab dengan dua kacamata itu, semuanya menemukan rujukannya. Hasilnya, adanya ketertarikan untuk menduplikasi dengan jalan menemukan Sumber Penyebabnya.
Lima
Rasul Paulus menegaskan insan Kristiani yang limpah memproduksi ‘buah-buah’ dalam hidupnya. Dalam Filipi 1:21-22 dia berkata: “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah.”
Bagi Paulus, hidup memiliki pemaknaan yang gamblang. Hidup adalah bagi Kristus. Dan itu berarti memberi buah. Artinya, Paulus memetakan dan memposisikan dirinya untuk menggapai satu tujuan, yakni berbuah. Konkretisasi dari hal tersebut sangat menawan: Menyaksikan Injil. Mendirikan jemaat-jemaat. Meneguhkan penatua. Mempersiapkan regenerasi. Dan menulis empat belas dari dua puluh tujuh kitab dalam Perjanjian Baru.
Jejak buah pelayanan Paulus sangat panjang. Jejak mana telah pula bersinggungan dengan kita, semisal tatkala kita membaca kitab Filemon. Boleh dikatakan, Paulus adalah insan Kristiani yang telah dengan sempurna menggenapkan pilihan dan panggilan Tuhan atas dirinya, yakni pergi dan berbuah…berbuahkan buah-buah yang tak lekang oleh jalannya sejarah.
Jonathan Nash, dalam film A Beautiful Mind, ditanya oleh istrinya mengenai arti hidup. Dia menjawab bahwa hidup berarti ketika kita bisa meninggalkan jejak. Permasalahannya adalah: apakah hidup kita meninggalkan sesuatu? Itu menjadi pertanyaan mendasar. Sebagai insan-insan pilihan-Nya, apapun kesadaran kita mengenai pilihan dan tanggung jawab yang terkandung di dalamnya, ingatlah bahwa kemarin adalah sebuah sejarah, hari esok adalah misteri, dan hari ini adalah anugerah. Jadi, lakukanlah yang terbaik pada hari-hari kehidupanmu selagi kesempatan itu masih ada.

