Di tengah situasi dunia yang penuh VUCA — Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity, peran seorang pemimpin ibarat nahkoda kapal yang mengarungi laut dengan badai tak terduga.
Harga pasar berfluktuasi, teknologi digital khususnya artificial intelligence (AI) berubah dalam hitungan minggu, geopolitik menggeser peta arah ekonomi, dan perilaku konsumen semakin sulit diprediksi. Dalam situasi ini, technical skill dan strategi saja tidak cukup. Yang menjadi pembeda adalah purpose yang benar sebagai suatu alasan terdalam mengapa seorang pemimpin memimpin.
Howard Schultz, mantan CEO Starbucks, pernah berkata: “When you’re surrounded by people who share a passionate commitment around a common purpose, anything is possible.”
Purpose adalah kompas yang memandu arah. Tanpa kompas, seorang pemimpin mudah terseret arus opini pasar atau tekanan jangka pendek. Namun dengan purpose yang kuat, setiap keputusan, inovasi, dan adaptasi tetap memiliki “benang merah” yang jelas. Dan kekuatan purpose membuat kita semua akan melangkah dengan pasti ke satu tujuan yang jelas.
Purpose: Suatu Alasan untuk Bertahan
Indra Nooyi, mantan CEO PepsiCo, terkenal dengan pendekatannya “Performance with Purpose”. Ia menegaskan bahwa bisnis tidak hanya tentang profit, tetapi juga dampak positif bagi manusia dan planet. Nooyi membuktikan bahwa saat badai bisnis datang, purpose menjadi alasan untuk tetap berdiri.
Alkitab sudah menegaskan prinsip ini ribuan tahun lalu. Rasul Paulus menulis dalam 1 Korintus 9:26: “Sebab itu aku tidak berlari tanpa tujuan dan aku bukan petinju yang sembarangan saja memukul.”
Dalam dunia VUCA, pemimpin yang tidak tahu tujuannya akan “berlari tanpa arah”. Akan cepat lelah, mudah bingung, dan gampang menyerah.
Clarity: Suatu Kejelasan di Tengah Kompleksitas
Jack Welch, mantan CEO General Electric, berkata: “Good business leaders create a vision, articulate the vision, passionately own the vision, and relentlessly drive it to completion.”
Di tengah kompleksitas, purpose adalah sebuah filter. Ia menyaring pilihan yang terlihat menguntungkan tetapi tidak sejalan dengan visi. Banyak perusahaan raksasa jatuh bukan karena tidak pintar, tetapi karena kehilangan fokus pada tujuan awal. Mereka terjebak pada aspek ekonomis dan melupakan esensi tujuan awal perusahaan didirikan.
Yesus mengingatkan kita dan memberi teladan tentang fokus pada tujuan. Dalam Yohanes 4:34, Ia berkata: “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya.” Bahkan dalam perjalanan yang penuh tantangan, Yesus tetap pada “core mission” yang Bapa berikan.
Apakah kita melibatkan Kristus dalam menyusun kejelasan tujuan kita, sehingga kita senantiasa berjalan bersama-Nya?
Agility: Suatu Kelincahan Penuh Integritas
Satya Nadella, CEO Microsoft, membuktikan bahwa agility merupakan kemampuan beradaptasi cepat, tetapi tidak berarti mengorbankan nilai. Ia memimpin transformasi Microsoft dengan tetap menekankan growth mindset dan empati sebagai inti budaya. Nilai yang dibangun harus senantiasa menjadi satu pegangan dalam melihat arah atau kompas apakah kita tetap searah dan sejalan.
Apabila tidak diikuti dengan sikap dan nilai integritas yang benar, agility dapat melahirkan suatu oportunisme yang keliru. Namun apabila kita melakukan agility dengan purpose yang benar, maka diharapkan akan menghasilkan inovasi yang memuliakan Tuhan dan memberkati sesama. Amsal 11:3 menegaskan: “Orang yang jujur dipimpin oleh ketulusannya, tetapi pengkhianat dirusak oleh kecurangannya.”
Purpose Berperan Sebagai Jangkar dan Mesin
Bayangkan bagaimana seorang pemimpin startup di Jakarta, yang menghadapi tekanan investor, perubahan regulasi, dan kompetisi global. Tanpa purpose yang kuat, ia akan mudah terjebak mengejar “tren terbaru” tanpa arah ataupun mencari peluang jangka pendek yang bersifat oportunis secara ekonomis. Namun jika ia memiliki purpose yang selaras dengan nilai kerajaan Allah, misalnya menyediakan lapangan kerja yang baik dan bermartabat, mampu menciptakan produk yang bermanfaat bagi bangsa dan sesama, dan menjalankan bisnis dengan penuh sikap integritas, maka setiap pivot dan inovasi akan tetap berada di jalur yang benar.


Simon Sinek, penulis Start With Why, menyimpulkannya: “People don’t buy what you do; they buy why you do it.”
Purpose yang benar membuat tim termotivasi bukan hanya karena gaji, tetapi karena mereka merasa menjadi bagian dari sesuatu yang bermakna dalam kehidupan.
Kekuatan Purpose bagi Pemimpin Kristen di Era VUCA
Dari perspektif Alkitab, purpose bukan sekadar cita-cita pribadi. Yeremia 29:11 mengingatkan:
“Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.”
Artinya, purpose sejati lahir dari memahami dan menyelaraskan diri dengan rancangan Tuhan. Pemimpin Kristen tidak hanya agile karena tuntutan pasar, tetapi karena ketaatan dalam merespon panggilan ilahi yang diberikan oleh Tuhan. Mereka fleksibel dalam strategi, tetapi teguh dalam prinsip; cepat dalam beradaptasi, tetapi tidak kehilangan arah dan integritas.
VUCA adalah realitas yang tidak akan hilang. Namun pemimpin dengan purpose yang benar akan menemukan alasan yang benar untuk bertahan, kejelasan dalam situasi yang tidak menentu dan kompleks, serta bagaimana dapat menciptakan suatu kelincahan yang berintergritas. Mereka seperti kapal yang mungkin bergoyang diterpa badai, tetapi tidak akan hanyut, karena jangkar mereka adalah panggilan yang Tuhan berikan.
Rick Warren dalam bukunya The Purpose Driven Life berkata, “The purpose of your life is far greater than your own personal fulfillment, your peace of mind, or even your happiness. It’s far greater than your family, your career, or even your wildest dreams and ambitions.”
Akhirnya, kita tetap diingatkan, dalam dunia VUCA ini, purpose yang benar adalah satu-satunya kepastian yang memampukan seorang pemimpin untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga membawa perubahan yang berarti bagi sesama dalam peran yang dijalaninya.
Tuhan Yesus memberkati.
***