Oleh : Desy Pakpahan
27 Mei 2024 pukul tujuh pagi. Bettya Adelina Pakpahan, kakak saya, meninggal dunia. Dan saya sesak oleh rasa kehilangan. Lagi. Tentu saja dunia tetap berputar sebagaimana biasa, tak melambat barang sedetik pun.
Ia pergi di usia yang belum genap 44 tahun. “Masih terlalu muda,” kata kebanyakan orang. Namun, saat mengingat masa-masa kebersamaan kami, kadang saya berpikir, hidupnya adalah sebuah perjalanan panjang. Bahkan mungkin terlalu panjang.
Kami sekeluarga memanggilnya Ade, termasuk saya, yang terpaut tiga tahun lebih muda. Ade begitu perhatian, begitu menyayangi keluarganya dengan caranya sendiri. Ade yang selalu bertanya, “Udah makan?”, yang selalu menyapa “Halo!” ketika setiap anggota keluarga tiba di rumah, yang selalu melepas kepergian kami dengan, “Daaaahhh! Hati-hati!”, yang rajin sekali menyalin lirik lagu Kidung Jemaat dan ayat-ayat Alkitab ke buku tulisnya, meski mungkin ia tak sepenuhnya memahami arti deretan huruf yang ditulisnya. Ade yang suka sekali paha ayam, sehingga kami –kakak dan kedua adiknya– terpaksa mencari bagian lain untuk dijadikan favorit.
Pengertian saya akan keterbatasan Ade tumbuh bersamaan dengan bertambahnya usia saya. Bahwa perkembangan intelektual dan emosionalnya tak sama dengan anak seusianya. Sering ia marah bahkan mengamuk kalau keinginannya tak terpenuhi atau tak mendapatkan perhatian. Kami tak begitu memahami penjelasan klinisnya. Kami hanya menerima keberadaannya. Satu-satunya penjelasan yang saya terima dari orang tua saya adalah bahwa Ade sering sakit sejak kecil, juga pernah jatuh, dan kemudian tumbuh-kembangnya terhambat.
Di rumah, Ade adalah anak yang paling dijaga hatinya. Siapa pun yang berulang tahun, kami akan memastikan Ade mendapatkan perhatian yang cukup supaya ia tidak marah. Kenyataan yang belakangan baru saya sadari, mungkin Ade bukan ingin menjadi pusat perhatian. Mungkin Ade hanya ingin merasa jadi bagian dari kami, keluarganya. Mungkin Ade hanya ingin merasa dicintai.
Sering saya merenung, bertanya-tanya bagaimana cara Ade memandang dunia. Juga bagaimana cara dia memahami keberadaan dirinya atau bagaimana dia mencerna perlakuan dunia di sekitarnya.
Sewaktu usia saya belum pun sepuluh tahun, dari balik jendela angkutan umum saya melihatnya berlari kecil menembus hujan. Payung lipat yang dibawanya tak mau terbuka, entah macet, entah Ade lupa caranya. Lalu ia menutupi kepalanya dengan payung yang tak mau terbuka, berusaha menghalangi air hujan membasahi badannya. Pedih sekali hati saya ketika itu.
Beberapa kali saya menyaksikan ia diolok-olok. Ditertawakan. Pernah saat kami berusia belasan, ketika berjalan memasuki halaman gereja, ada beberapa anak laki-laki memanggil Ade. Saya curiga melihat senyum jahil di wajah mereka. Saya juga ragu, karena saya kenal orang-orang itu. Apa iya mereka tega? Benar saja, begitu Ade mendekat, mereka lantas tertawa terbahak-bahak. Saya hampiri lantas menghardik mereka. Hati saya nyeri sekali.
Lalu saya melihat wajah Ade. Ekspresi wajahnya kala itu masih jelas di ingatan, bahkan hingga sekarang, 24 tahun kemudian. Raut wajah yang sulit sekali saya artikan. Apakah Ade mengerti bahwa ia baru saja diolok-olok dan dijadikan bahan tertawaan? Apakah Ade bertanya-tanya dalam hatinya mengapa ia diperlakukan demikian?
Kenangan-kenangan masa kecil itu yang juga bermunculan ketika saya menemani Ade di 17 jam terakhirnya di rumah sakit. Ade dilarikan ke instalasi gawat darurat lantaran tak sadarkan diri. Dokter kemudian menyatakan Ade mengalami syok sepsis. Infeksi sudah menjalar ke sekujur tubuhnya. Jantungnya membesar, ginjalnya tak berfungsi.
Jadi ketika dokter berkali-kali menanyakan apakah kami akan menempuh upaya resusitasi*) jika kondisi Ade memburuk, hati saya hancur sekali. Apakah kalau memilih tidak resusitasi artinya kami tak mengupayakan semaksimal mungkin untuk Ade? Jahatkah kami? Jangan-jangan saya memang ingin Ade pergi? Lalu saya sibuk menghakimi diri sendiri.
Di sisi lain, apakah resusitasi justru akan memperpanjang penderitaan Ade? Seumur hidup Ade, apakah dia tidak cukup menderita? Sejak kecil ia sakit-sakitan, tumbuh dan berkembang jauh di belakang anak-anak seusianya –bahkan yang jauh lebih muda– lalu beranjak dewasa dalam kondisi tak pernah lepas dari obat.
Saya dan kakak menangis di sisi Ade. Sambil berlinang air mata, kakak saya bilang, “Pernah nggak sih Ade bahagia? Dari kecil sakit-sakitan, sekarang kayak begini, pernah nggak sih sekali aja Ade ngerasain bahagia?”
Lama setelah Ade pergi, saya masih berkutat dengan pertanyaan, “Jadi apa sebenarnya makna hidup Ade? Hidup hampir 44 tahun, apa maknanya kalau dia terus-menerus merasakan sakit? Pencapaian apa yang sudah Ade raih? Pendidikan? Tak tuntas. Karier? Apalagi. Apakah hidup Ade hanya rentetan kemalangan dan kegagalan?”
Lalu saya mengingat-ingat lagi kebersamaan kami. Ade dalam segala keterbatasannya menunjukkan kasih yang justru tak berbatas. Ade yang mungkin tak mampu mengendalikan emosinya, tapi selalu bisa memaafkan orang-orang yang menyakiti hatinya, termasuk saya. Pelukannya yang kadang terlalu erat selalu bisa menghadirkan kehangatan di rumah. Gelitikannya yang kadang terlalu tajam selalu bisa menghadirkan tawa lepas di tengah keluarga kami.
Saya menyaksikan bagaimana Ade –dengan segala keunikannya– turut membentuk dan mendewasakan seluruh isi rumah. Dari Ade saya belajar bahwa keberhasilan tak melulu dilihat dari apa yang melekat pada diri, tapi apa yang kita beri. Bahwa makna hidup tak melulu soal apa yang sudah kita raih, tapi hati siapa yang kita sentuh.
Melalui hampir 44 tahun hidup Ade, saya melihat kebaikan dan cinta Tuhan yang nyata. Dan dengan demikian Tuhan dimuliakan. Bukankah itu makna hidup yang sebenarnya?
***
Catatan:
*) Resusitasi adalah tindakan medis darurat yang dapat menyelamatkan nyawa seseorang. Sebuah upaya untuk mengembalikan fungsi tubuh yang menurun drastis, terutama pada pernafasan dan peredaran darah.
No Comment! Be the first one.