Pada malam itu, ketika mereka sedang berkumpul dan makan bersama di sebuah ruangan atas, tiba-tiba suasana berubah. Momen makan bersama Yesus, bagi murid-murid-Nya sebenarnya merupakan momen yang rutin. Namun entah bagaimana, mereka merasakan malam itu sungguh berbeda.
Obrolan-obrolan para murid yang biasanya ramai kemudian surut, tegang, dan mencekam. Sebuah bisikan merambat pelan di tengah ruangan itu, berhembus dengan sangat lembut melewati murid-murid hingga menyusup ke hati Yudas. “Mereka sedang makan bersama, dan Iblis telah membisikkan rencana dalam hati Yudas Iskariot, anak Simon, untuk mengkhianati Dia.” (Yohanes 13:2)
Tak seorang pun tahu, tak seorang pun sadar, kecuali dua orang di ruangan itu, Yesus dan Yudas, yang kemudian saling menatap tanpa berkata apa-apa.
Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan jubah-Nya. Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya, kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah baskom, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya.
Pada tradisi Yahudi, penampilan Yesus yang tidak berpakaian lengkap (menanggalkan jubah) dan (mungkin) hanya mengenakan kain/ baju bagian dalam, lalu mengikatkan kain pada pinggang seperti itu, adalah penampilan seorang budak (slave). Pada tradisi Yahudi juga, membasuh kaki adalah tanggung jawab tuan rumah terhadap tamu yang datang ke rumahnya, dengan menyediakan pelayan (servant) untuk membersihkan kaki tamu tersebut.
Namun malam itu Yesus melakukannya, suatu pekerjaan hina. Ia menghamba secara total. Ia menurunkan status-Nya serendah-rendahnya.
Ia mulai dari yang duduk paling dekat dengan-Nya. Ia raih kaki mereka sepasang demi sepasang, lalu mencuci dan mengelapnya. Semua bingung, tak mengerti, lalu saling pandang, dan berbisik-bisik pelan sekali: “Apa-apaan ini yang dilakukan oleh Guru?”


Suasana ruangan begitu lengang, hanya ada suara percikan air di dalam baskom ketika Yesus memeras kain yang basah. Pemilik kaki-kaki yang sudah dicuci itu tak berkomentar apapun. Hingga sampailah giliran Petrus.
Namun Petrus menarik kakinya. Suaranya tiba-tiba memecah kesunyian, “Tuhan, Engkau hendak membasuh kakiku?”
Murid-murid lain yang sejak tadi tidak berani mengucapkan apa-apa, melotot ke arah Petrus.
“Apa yang Kuperbuat, engkau tidak tahu sekarang, tetapi engkau akan mengertinya kelak,” jawab Yesus.
Petrus semakin menarik kakinya ke dalam. Ia begitu risih, begitu canggung. Kakinya kotor sekali, penuh debu jalanan. Lagipula, kuku jari-jari kakinya hitam dan panjang, seperti cakar beruang. Ia tak pernah peduli untuk membersihkan kuku kaki, apalagi mengguntingnya. Telapak kakinya pun pecah-pecah.
“Engkau tidak akan membasuh kakiku sampai selama-lamanya,” kata Petrus sambil mendorong tangan Yesus yang berusaha meraih kakinya.
Petrus sangat respek kepada Gurunya. Di masa awal ketika ia bertemu Yesus di danau Genesaret, ia begitu takjub melihat keajaiban yang dikerjakan oleh Yesus. Ia menyadari kekudusan Yesus, aura wibawa yang terpancar dari-Nya. Namun mengapa Yesus mau menyapanya? Mengapa Yesus mau datang kepadanya, memilih naik perahunya, bahkan memberikan tangkapan ikan dalam jumlah besar, padahal telah semalam suntuk jalanya hanya menjaring angin dan air belaka? Waktu itu sambil tersungkur ia meminta Yesus meninggalkannya karena merasa tidak layak, “Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku ini seorang berdosa.” (Lukas 5:8b)
“Pergilah dari padaku” adalah sebuah ungkapan paradoks, karena di lubuk hatinya yang terdalam sebenarnya ia memohon, “Jangan tinggalkan aku, orang berdosa ini. Aku tak dapat hidup tanpa-Mu, Tuhan.”
Dan Yesus sangat mengerti isi hati Petrus.
“Jikalau Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak mendapat bagian dalam Aku,” jawab Yesus lagi dengan sabar.
Petrus terkejut. Kata-kata Gurunya begitu mengena, jleb, seperti pedang tajam yang menghunjam jantungnya. Entah ia bingung atau tak tahu harus berkata apa, ia malah meminta lebih, “Tuhan, jangan hanya kakiku saja, tetapi juga tangan dan kepalaku!”
Betapa apa adanya. Betapa terus terangnya. Petrus sungguh merindukan suatu momen di mana ia ingin seutuhnya tinggal bersama Gurunya. Ia ingin tenggelam dalam hidup Gurunya.
Itulah perasaan cinta dari seorang Petrus yang tiba-tiba meletup, ketika melihat betapa Guru yang ia puja begitu merendahkan diri di depan matanya.
Dan Petrus pun membiarkan tangan Gurunya meraih kakinya. Ia memalingkan muka, tak kuasa melihat Gurunya mencuci kakinya.
Lalu setelah Yesus selesai dengan kaki-kaki sebelas murid itu, tibalah Ia pada Yudas. Yudas memang duduk di paling ujung. Beberapa jam sebelumnya ketika ia mendapat bisikan tentang rencana pengkhianatan itu, ia sengaja mengambil jarak. Ia merasa bahwa Gurunya merasa. Ia tahu bahwa Gurunya tahu.
Ketika Yesus memegang kakinya, angin berdesir mengelus betisnya karena ujung jubahnya tersingkap. Kakinya berkeringat walaupun saat itu udara begitu dingin. Ia berusaha melawan gemetar kakinya saat ia celupkan kakinya pelan-pelan ke dalam baskom. Air dingin di dalam baskom membuat sekujur tubuhnya menggigil.
Yesus menggosok kaki Yudas yang berdaki. Suara percikan air di dalam baskom itu membuat malam yang sunyi makin mencekam. Kaki-kaki yang digosok membunyikan suara ‘srek-srek-srek’, membuat hati sebelas murid yang lain menggigil. Mereka menatap adegan itu dengan mata yang tidak berkedip. Mengapa kaki yang terakhir ini seperti mengirimkan sinyal aneh? Demikian pikir kesebelas murid itu.
Yudas ingat perkataan Yesus beberapa menit sebelumnya kepada Petrus, “Barangsiapa telah mandi, ia tidak usah membasuh diri lagi selain membasuh kakinya, karena ia sudah bersih seluruhnya. Juga kamu sudah bersih, hanya tidak semua.”
“Tidak semua bersih?” pikirnya. Wajahnya tegang. Ia melirik ke arah Yohanes yang duduk di sebelah kanan tempat kosong Gurunya. Dan ketika kedua pasang mata itu bertemu, mata Yohanes seakan berbicara kepadanya. Tetapi Yohanes hanya diam, lalu menunduk dan menuliskan sesuatu di catatannya.
Waktu yang hanya beberapa menit itu seakan berdetak satu tahun bagi Yudas. Hatinya berkecamuk. Ia sudah tidak merasakan air yang mengguyur kakinya ketika Yesus membilasnya, dan baru tergeragap ketika Yesus mengelap kakinya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya.
Selesai.
Yesus sudah menghinakan diri-Nya sebagai pelayan di hadapan murid-murid-Nya. Ia melayani dengan seutuhnya kepada dua belas orang, termasuk kepada yang akan menyangkal-Nya dan yang akan mengkhianati-Nya.
Betapa pelayanan yang dikerjakan-Nya melebihi batas, tak peduli apakah yang dilayani-Nya layak atau tidak layak. Ia tak membeda-bedakan. Walaupun Yesus sudah tahu apa yang akan dilakukan oleh Petrus dan Yudas setelah perjamuan makan itu, toh Ia tetap melayani mereka. Ia tetap memberikan kasih-Nya kepada dua orang ini.
Lalu Yesus mengenakan kembali jubah-Nya, duduk di tempat semula.
Yudas memandangi kakinya yang sudah bersih. Ia tak pernah melihat kakinya sebersih itu. Ia menatap Yesus, lalu menunduk. Dilihatnya baskom bekas kakinya yang airnya sudah keruh. Sekeruh hatinya. Ia menatap Yesus lagi, tetapi tak melihat apa-apa selain tiga puluh keping perak yang sedang bermain-main di depan matanya. Ia ingin mendengar suara hatinya di kedalaman yang paling sunyi, tetapi suara kepingan perak menindas suara hatinya. Cring-cring-cring.
“Apa yang hendak kau perbuat, perbuatlah dengan segera,” kata Yesus sambil memberikan sepotong roti yang baru dicelupkannya (mungkin ke dalam anggur, atau cuka, atau minyak zaitun – sesuai tradisi Yahudi untuk menu Paskah).
Yudas tertegun. Ia gugup. Keringat dingin sebesar butiran jagung menitik di dahi dan lehernya. Oh, seandainya ia tidak mengeraskan hatinya. Seandainya ia mengerti Yesus masih berusaha memberikan ‘the last chance’ untuknya dengan kalimat itu. Seandainya ia mau melupakan tiga puluh keping perak itu.
Dengan menyeret kakinya yang bersih, ia keluar ruangan itu, menuju rumah Kayafas.
Hari sudah jauh malam. Di luar tampak langit terhampar begitu kelam.
***