Tentang fenomena remaja-pemuda Kristen sekarang, pastorgram, pengajaran lewat media sosial dan dampaknya bagi pertumbuhan iman anak-anak muda.
Media sosial belakangan marak dengan kemunculan pastorgram, figur populer dan punya banyak pengikut yang membagikan pesan-pesan rohani di Instagram. Kepala Pusat Studi dan Pengembangan Pelayanan Kaum Muda (PSPPKM) Sekolah Tinggi Teologi Amanat Agung (STTAA) Astri Sinaga mengkritisi fenomena ini.
Meski mengakui peran positif media sosial sebagai sarana pengajaran, ia mengatakan fenomena tersebut telah menggeser figur Hamba Tuhan dari sosok gembala menjadi selebriti. Tak hanya itu, Astri yang berpengalaman lebih dari 20 tahun di pelayanan kaum muda mengatakan, media sosial juga memunculkan fenomena baru, yakni anak muda yang tidak “mengakar”.
“Tidak mengakar dalam hal pengajaran dan tidak loyal kepada gereja,” katanya.
Kiprah Astri di dunia pelayanan pemuda dimulai saat menjadi pembina remaja di Gereja Presbyterian Orchard sembari menyelesaikan studi teologinya di Singapura. Ia kemudian memilih berkontribusi lebih jauh terhadap pelayanan kaum muda lewat jalur akademis, hingga dipercaya memimpin PSPPKM. Dibentuk pada 2012, PSPPKM merupakan bagian dari STTAA yang berkonsentrasi pada penelitian dan kajian untuk menciptakan pelayanan kaum muda berbasis teologi yang kuat dan riset mendalam.
Di sela kesibukannya sebagai dosen, Kepala PSPPKM, dan menyelesaikan studi doktoral, ia meluangkan 60 menit untuk berbincang dengan Desy Pakpahan dan Edna Caroline dari Nafiri. Astri yang juga penulis lagu dan naskah drama musikal lagu ini mengungkapkan pemikirannya tentang kaum muda dan bagaimana peran gereja dalam membentuk pemuda Kristen dengan spiritualitas yang utuh.
Bagaimana perbedaan kaum muda sejak Ibu memulai pelayanan sampai sekarang?
Pertama kali saya terlibat di pelayanan kaum muda, saya melayani generasi Y, yaitu anak-anak kelahiran awal 1980. Anak muda saat itu punya daya juang yang lebih besar, lebih tahan banting. Saya bisa “memarahi” mereka, tapi juga bisa menyayangi mereka dengan begitu bebas.
Makin ke sini, dengan sistem pendidikan yang berubah, cara anak-anak muda menangkap dan mengelola informasi juga berbeda. Begitu juga cara mereka memandang dunia. Mengajar dan membimbing anak muda sekarang harus melibatkan rasa senang, harus fun. Mereka bukan generasi yang bisa ditegur dengan goncangan. Tapi, bisa nggak dalam kegembiraan itu mereka diajar dengan berkualitas? Bisa.
Bagaimana gereja menanggapi perubahan tersebut?
Gereja juga berubah. Kalau saya perhatikan, pelayanan kaum muda di gereja-gereja sebetulnya tidak punya banyak program. Dulu saya masih bisa bikin tiga macam kurikulum pembinaan sesuai minat, misalnya kepemimpinan, musik, atau Bible study. Bayangkan, ada tiga macam kurikulum pembinaan yang mereka bisa pilih, kayak menu. Sekarang tidak bisa. Pelayanan kaum muda sekarang banyak terfokus di ibadah raya. Syukur-syukur ada kelompok kecil.
Menarik ya, dengan banyaknya sumber informasi saat ini gereja justru tidak memberikan banyak pilihan. Apa penyebabnya?
Banyak faktor. Pertama, si anak muda juga sudah terlalu sibuk, banyak pilihan di luar gereja. Jadi banyak komisi remaja atau pemuda tidak punya lagi kegiatan sepanjang Senin-Sabtu, semua dikonsentrasikan di hari Minggu.
Kedua, gereja lalu “menyerah” akan kesibukan anak muda dengan bilang, “Anak muda sekarang sibuk, jadi kita tidak bisa bikin (kegiatan) apa-apa.”
Ketiga, makin sedikit youth pastor yang berdedikasi, yang hatinya benar-benar untuk kaum muda. Dia ada di pelayanan kaum muda semata karena pekerjaan, karena gereja menempatkan dia di situ, karena baru lulus, karena masih muda. Salah satu faktor penyebab lemahnya youth ministry di Indonesia adalah lemahnya youth pastor.
Lantas apa efeknya terhadap kaum muda Kristen?
Pembinaan anak muda jadi sangat minim. Tidak banyak kaum muda sekarang senang Bible study. Dulu persekutuan mahasiswa masih bisa ada kegiatan kelompok kecil, seminggu sekali membaca dan membahas Alkitab. Era itu sudah lewat. Sekarang kelompok kecil paling hanya sebulan sekali.
Lalu karena gereja tidak bisa memberikan banyak opsi, akhirnya hanya fokus pada ibadah. Makanya kita melihat banyak gereja jor-joran membuat ibadah jadi menarik lantas berpikir dengan banyak yang datang, maka selesailah tugasnya. Gereja lupa bahwa kelompok kecil mesti digiatkan, juga kurang memikirkan bagaimana cara memastikan ibadah bisa membuat perubahan dalam hidup anak muda. Kemeriahan ibadah itu tidak otomatis membuat anak muda jadi benar hidupnya. Justru pembinaan tidak boleh hilang.
Lalu bagaimana fenomena ini dikaitkan dengan maraknya pengajaran di media sosial, termasuk adanya pastorgram?
Salah satu yang bikin rusak menurut saya memang pastorgram. Yang rusak adalah figurnya. Di masa lalu, figur Hamba Tuhan adalah gembala, tugasnya menggembalakan, berada di tengah anak-anak muda, mengobrol, menegur, menangis dan berdoa bersama. Ada relasi. Tapi sekarang figur para youth pastor bukan lagi sebagai gembala.
Saya belum ada penelitian mengenai hal ini, tapi saya pernah berbincang dalam satu forum tentang sindrom selebriti pada diri pastor. Mereka merasa seperti selebriti, seperti berada di panggung. Padahal mereka itu gembala dan gembala mestinya turun ke lembah dan berada bersama domba-dombanya. Saya yakin sekali teknologi tidak akan pernah bisa secara utuh menggantikan relasi.
Apa yang menjadi keresahan Ibu?
Di satu sisi media sosial memang ada bagusnya, tapi di sisi lain media sosial menyebabkan shifting atau pergeseran dalam diri youth pastor. Tadi saya mengatakan bahwa problem pelayanan kaum muda di Indonesia salah satunya karena youth pastor tidak berdedikasi. Mungkin pergeseran itu banyak dibentuk oleh media sosial. Itu keresahan saya.
Saya juga pakai media sosial untuk menyampaikan pesan yang singkat, tajam, langsung kepada anak muda. Sekarang dalam delapan slides (di Instagram – red) sudah bisa membahas tentang pekerjaan Roh Kudus dalam hidup manusia. Itu bagus.
Lalu muncul problem lain, yaitu anak muda sekarang tidak rooted (mengakar) karena terlalu banyak informasi yang didapat. Pernah dalam satu bulan saya melakukan safari, mengunjungi gereja-gereja untuk mengobrol dengan youth pastor. Salah satu yang paling terasa adalah anak muda tidak memiliki pengajaran yang mengakar.
Tidak mengakar artinya juga tidak loyal kepada gerejanya. Jadi model anak sekarang tuh keliling gereja. Kalau mereka dengar ada gereja yang bagus, mereka akan ke sana. Ini salah satu perbedaan lain antara kaum muda dulu dan sekarang. Dulu anak-anak muda itu rooted, sekarang banyak sekali gereja yang ditinggalkan oleh kaum mudanya.
Tidak mengakar maksudnya dangkal dalam hal pemahaman teologi?
Ya. Sebetulnya apa yang didapat dari teknologi itu masih berupa informasi singkat yang masih perlu diolah, diproses. Kalau anaknya benar, dia akan bertanya. Kalau tidak, dia akan diam saja dan menganggap bahwa dia sudah tahu, padahal sebenarnya itu hanya informasi yang dangkal dan umum. Nah, itu yang repot.
Lalu di saat mereka menghadapi masalah, pemahaman mereka goyah?
Betul. Informasi yang dangkal, yang belum diinternalisasi, belum dilakukan, belum diuji sendiri dalam kehidupan sehari-hari, tidak berfungsi pada saat dia susah.
Salah satu problem anak muda sekarang adalah model spiritualitasnya tidak utuh. Antara pemahaman, hati, dan tindakannya tidak utuh. Kalau kita mendapatkan informasi, kemudian kita hayati, lalu kita latih, kita perbuat, maka spiritualitasnya akan utuh.
Nah, ternyata pembinaan pemuda Kristen tidak membuat informasi, doktrin, pemahaman Alkitab mendarah-daging. Kami pernah mengadakan penelitian sewaktu pandemi 2022. Kami survei sekitar 1.000 aktivis pemuda Kristen tentang perilaku seksual. Hasilnya, satu dari tiga responden terlibat pornografi, satu dari sembilan berhubungan seks dengan pacarnya, dan satu dari sebelas menyukai sesama jenis.
Ini wake up call buat saya. Ini juga perlu menjadi wake up call bagi gereja untuk membuat strategi menciptakan kehidupan spiritual kaum muda yang utuh. Hanya mengisi otak tidak ada gunanya. Sampai ke hati atau emosi belum tentu baik, harus diwujudkan dalam tindakan dan itu tidak bisa otomatis. Gereja harus bikin wahana berlatih. Misalnya lewat pelayanan, proyek ketaatan, atau kegiatan yang sifatnya menggerakkan, bukan event (acara). Kalau pelayanan kaum muda hanya berfokus pada event, maka yang terbentuk adalah crowd (kerumunan), bukan komunitas. Apa gunanya crowd? Di luar sana juga banyak.
Tapi bagaimana mereka bisa ikut pembinaan kalau datang ke gereja pun tidak?
Betul. Saya tidak menentang ibadah dilakukan dengan begitu perfeksionis. Saya pernah mewawancarai gereja-gereja tradisional yang mengubah ibadahnya menjadi kontemporer. Mereka jadi lebih sungguh-sungguh melayani, bisa dua kali latihan kalau bertugas jadi pemusik.
Saya setuju itu memang menjadi pintu masuk bagi anak-anak muda. Buat mereka lebih relevan, terasa inklusif. Tapi tidak boleh berhenti di situ. Youth pastor tidak boleh puas karena anak muda datang hari Minggu. Dia harus putar otak bagaimana cara memastikan orang-orang ini melatih iman mereka.
Tapi bicara tentang pembinaan pemuda, bukankah ada peran orang tua juga?
Dulu saat saya pelayanan di remaja, rekan saya yang paling dekat adalah orang tua para remaja. Kalau ada remaja punya masalah, saya harus ngomong kepada orang tuanya karena mereka masih di bawah umur. Tapi kalau sudah di atas 20 tahun kan pendekatannya beda lagi.
Di masa lalu kita suka mendengar bahwa gereja bersama-sama orang tua di dalam pelayanan remaja. Saya setuju. Saya masih punya keyakinan sangat besar bahwa guru pertama dalam hidup seorang anak adalah orang tuanya. Tapi dari kisah-kisah yang saya dapat dari perjalanan pelayanan saya, justru seringkali sumber penderitaan anak remaja adalah orang tuanya. Orang tua yang keras, menghina, melecehkan, membuang, membandingkan.
Jadi bagaimana ya, di satu sisi saya bukannya tidak percaya pada orang tua, tapi di lain sisi pada kenyataannya memang ada degradasi dalam keluarga. Tingkat perceraian keluarga Kristen makin tinggi, disfungsi keluarga juga makin tinggi.
Kita tentu butuh youth pastor yang lebih dari sekadar bestie (sahabat), tapi juga sosok yang membina pertumbuhan iman anak muda. Bagaimana pendapat Ibu?
Seringkali orang berpikir bahwa youth pastor itu harus muda. Nah, saya kurang percaya tuh. Kalau mau bertumbuh, anak muda harus berelasi dengan orang yang pemikirannya beberapa level di atas mereka. Kalau terlalu dekat level pemikirannya, jatuhnya jadi teman main. Anak-anak muda sudah tidak butuh teman, sudah banyak. Dulu, iya, mereka butuh teman. Sekarang yang mereka butuhkan adalah orang dewasa yang bersahabat, punya pengetahuan dan hikmat, supaya melalui relasi tersebut anak muda jadi ikut bertumbuh. Jadi mesti taruh orang yang betul-betul matang di pelayanan kaum muda.
Ada lagi hasil penelitian yang menarik?
Saya pernah mewawancarai beberapa anak usia 16-22 tahun. Dalam percakapan tersebut saya menemukan ada fenomena takut dewasa. Buat mereka jadi dewasa itu tidak enak, susah, tidak ada kepastian. Mereka ingin tetap jadi remaja.
Salah satu karakteristik orang dewasa adalah sanggup berkomitmen. Kalau ada anak remaja sanggup berkomitmen, itu tandanya dia dewasa. Tapi anak remaja sekarang banyak yang tidak berani mengambil komitmen. Kenapa? Nah, dalam wawancara saya, mereka bilang karena orang dewasa yang ada di depan mata mereka tidak menyenangkan, hidupnya susah, penuh dengan penderitaan, banyak tantangan. Jadi mereka takut, maunya tetap jadi remaja, main, menikmati hidup, tapi tidak berani mengambil keputusan atau tanggung jawab.
Lantas apa yang perlu dilakukan?
Nah, pelayanan kaum muda “memberi makan” keinginan mereka untuk tetap muda dengan menyediakan tempat “bermain”. Padahal seharusnya justru perlu menyediakan tempat latihan dengan bikin kelompok kerja, misalnya mengajar anak-anak sekolah di sekitar gereja. Youth ministry juga perlu berpikir untuk tidak melayani ke dalam saja tapi juga ke luar gereja.
“Memberi makan” maksudnya dengan memaklumi atau permisif terhadap anak-anak muda?
Betul sekali. Mentalitas ‘yang penting anak muda nggak pergi dari sini’. Kita lupa bahwa kita adalah gereja yang harus didasari oleh kebenaran firman. Firman Tuhan memberikan telos – tujuan atau desain yang Allah mau kita capai. Tuhan di dalam firman-Nya memberikan gambaran tentang kaum muda seperti apa yang Tuhan inginkan.
Coba kita lihat Daud. Dia masih muda, tapi punya tanggung jawab yang besar. Maria, perempuan yang masih kecil, mengandung, mengambil tanggung jawab besar. Berarti dalam desain Tuhan, kaum muda itu bertanggung jawab, tangguh, menjadi berkat, berkontribusi terhadap gereja. Kenapa bukan itu yang kita kejar?
PROFIL
Astri Kesuma Hati Sinaga
Tempat/Tgl lahir: Jakarta, 5 Agustus 1969
email: astri_sinaga@sttaa.ac.id
IG: @sinaga_astri
PENDIDIKAN
Ph.D. Candidate in Transformational Learning – Asia Pacific Nazarene Theological Seminary, Manila
Master of Theology (2000) – Trinity Theological College, Singapore
Master of Divinity (1997) – Trinity Theological College, Singapore
Sarjana Sastra (1992) – Universitas Kristen Indonesia
PELAYANAN
Youth Pastor di GKI Kavling Polri (2000-2007)
Youth Pastor di Gereja Kristus Ketapang (2007-2009)
Wakil Ketua Bidang Akademik STT Amanat Agung (2013-2022)
Dosen penuh waktu Teologi Praktika dan Pendidikan Kristen dan Pelayanan Kaum Muda STT Amanat Agung (2010-sekarang)
Kepala Unit Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat STT Amanat Agung
Kepala Pusat Studi dan Pengembangan Pelayanan Kaum Muda STT Amanat Agung
KARYA
Drama Musikal:
- “Jangan Takut”
- “Lentera yang Menyala”
- “There is No Room”
- “The King”
- “Perjumpaan Itu”
- “The Promise”
- “Tears of Bethlehem”
Buku:
“Pribadi yang Melayani” dan Seri kelompok Kecil “Life Expedition”
Lagu:
Youtube – Astri Sinaga
No Comment! Be the first one.