Dalam dua kurun waktu yang berbeda, Injil diberitakan di Tiongkok selama delapan ratus tahun sejak abad ketujuh, dan dua kali pula umat Tuhan tersapu habis tak bersisa (ikuti kisahnya pada Bagian Pertama). Ketika Mateo Ricci, seorang misionaris Katolik, tiba di Guang Zhou pada tahun 1583, ia tak melihat seorang Kristen pun di sana, sama halnya ketika ia menjelajahi kota-kota lain di Tiongkok. Apakah upaya para misionaris akan kembali gagal untuk ketiga kalinya? Apakah kebanggan orang China akan adat dan budaya leluhur begitu kuatnya sehingga Injil pun tak dapat menembusnya? Waktu membuktikan sebaliknya! Kini kota demi kota di negeri China mulai dipenuhi bangunan gereja yang dipadati umat Tuhan. Namun, itu memerlukan waktu berabad-abad dengan ribuan darah martir telah membasahi bumi Tiongkok selama ratusan tahun. Inilah sebagian kisah mereka ….
Menembus Negeri yang Tertutup
Sungguh ironis, ketika Tiongkok dikuasai bangsa Tionghoa sendiri (suku Han), perkembangan agama Kristen dan semua yang berbau asing sangat dihambat. Dinasti Ming yang menguasai Tiongkok sejak 1368 menggantikan Dinasti Yuan (Mongol) mulanya membuka diri terhadap dunia luar. Laksamana Cheng Ho yang tersohor juga dikirim oleh Kaisar Ming sebagai duta persahabatan ke negara-negara Asia termasuk Indonesia. Tapi tak berapa lama kemudian, Tiongkok kembali menutup diri dengan rapat, semua ekspedisi diakhiri dan segala yang berbau asing dilarang, termasuk penyebaran agama Kristen. Untunglah, masih ada misionaris seperti Pastor Ricci yang diterima di istana karena mereka membawa pula ilmu pengetahuan/sains yang dikagumi kaisar.
Sebelum Pastor Ricci, ada Fransiscus Xaverius yang mendambakan pula masuk ke negeri Tiongkok. Ia mendengar dari orang Jepang, bahwa mereka menerima seluruh kebudayaan dari Tiongkok. Karena agama Kristen bukan dari Tiongkok, maka bagi orang Jepang mustahillah agama Kristen bermutu. Mendengar itu, Fransiskus sangat rindu membawa Injil ke pusat kebudayaan Asia Timur itu. Dari sana, nanti pasti lebih mudah menginjili Jepang dan Korea, pikirnya. Namun tampaknya itu bukan kehendak Tuhan. Sampai di akhir kehidupannya, Fransiscus Xaverius yang sudah berkelana bahkan sampai ke kepulauan Maluku itu tidak pernah menginjakkan kakinya di negeri China. Ia hanya dapat memandang pantai daratan Tiongkok dari Pulau Shangchuan, tempatnya menutup mata selamanya.
Pastor Ricci cukup lama berkarya di Tiongkok. Ia diterima dengan baik di istana kaisar Ming, bahkan saat meninggal (1608) ia sudah menjadi orang terhormat di Beijing, antara lain karena ia menghadiahkan peta dunia yang digambarnya sendiri, juga buku-buku ilmiah yang ditulisnya dengan bahasa yang indah. Karena jasanya, sebuah gereja didirikan di Beijing dan saat itu sudah ada dua ribu orang Kristen di seluruh Tiongkok. Sebelum meninggal, ia sempat berpesan, ”Pintu sudah terbuka lebar untuk kemenangan besar, namun hanya dapat diperoleh dengan penderitaan berat dan perjuangan lama!” Pesan ini bagai nubuat bagi orang Kristen di Tiongkok pada abad-abad berikutnya.
Pastor Ricci – source: Wikipedia
Pergolakan Dinasti Terakhir Tiongkok
Ribuan tahun sejarah dan puluhan dinasti di Tiongkok diakhiri oleh Dinasti Qing—yang berasal dari suku bangsa Manchu, pada 1644—dengan meruntuhkan dinasti Ming yang telah berkuasa hampir tiga ratus tahun. Walaupun awalnya tidak terjadi persekusi terhadap umat Kristen, gereja tidak bisa berkembang pesat. Bahkan, di masa Kaisar Qianlong (1711–1799), semua misionaris diusir meninggalkan negeri China. Yang berkeras tinggal dihukum mati. Sebagian besar gereja turut dihancurkan.
Sikap anti Kristen bertambah kala terjadi Pemberontakan Taiping yang terjadi pada 1850–1864. Hong Xiuquan—pemimpin pemberontakan—mengaku Kristen namun menerima ajaran dari sumber bacaan dan guru yang sesat. Ia mendirikan Kerajaan Surgawi Perdamaian dan ia memproklamirkan diri sebagai adik Yesus! Pemberontakan itu berlangsung lama dan memakan korban puluhan juta jiwa—merupakan yang terbesar di Tiongkok sejak penaklukan Qing dan salah satu yang paling berdarah dalam sejarah manusia. Dampaknya, pemerintah Qing mempersalahkan orang Kristen dan semakin menindas dengan kejam. Namun pemerintahan Tiongkok sudah semakin lemah. Berbagai konsesi terpaksa diberikan kepada pasukan Inggris dan Perancis yang berdatangan demi kepentingan politik dan ekonomi.
Puncaknya, pemberontakan kaum boxer (The Boxer Rebellion) yang hanya berlangsung kurang dari dua tahun (1899–1901) akhirnya benar-benar meruntuhkan sendi-sendi kekaisaran Qing. Pemberontakan Boxer adalah perlawanan rakyat Tiongkok terhadap kekuasaan asing di semua sektor kehidupan, termasuk agama. Memulai aksinya sebagai gerakan antiasing yang dipelopori petani di Tiongkok utara, mereka juga menyerang orang Kristen yang dianggap bertanggung jawab mendominasi budaya Tiongkok. Pada Juni 1900, kaum Boxer menyerbu Beijing dan membunuh 230 orang non-Tionghoa, sebagian adalah misionaris asing. Banyak kisah menyayat hati saat pembantaian terjadi. Eva Florence, seorang misionaris Protestan (zendeling), sempat menulis beberapa hari sebelum ia dan suami serta anak perempuannya dibunuh kaum boxer, “30 Juni 1900. Sejauh ini kami aman, tapi hidup dalam ketegangan mencekam yang tak terbayangkan …. Bila kami dibunuh, kami berdoa itu berlangsung dengan cepat …. Hati kami sepertinya menolak bersikap tabah, kaki kami gemetar walau seharusnya tampil berani, percaya kepada Tuhan. Kami tetap percaya kepada-Nya! ‘Jangan takut, semuanya baik’. Ini kesaksian kami …. Kalau kami mati, kami mati dalam damai!”
Karya Misionaris Protestan
Sejak awal sampai pertengahan abad kesembilan belas jumlah umat Katolik terus turun akibat penindasan. Kemudian tibalah misionaris Protestan dengan persiapan yang lebih baik. R. Morrison tiba di Guangdong tahun 1807 sebagai juru bahasa East Indian Company . Ia belajar bahasa Tionghoa sambil menerjemahkan Alkitab sampai tahun 1824. Dengan karyanya, Morrison meletakkan dasar bagi perkembangan umat Protestan di Tiongkok. Melalui terjemahan Morrison pula, istilah Shangdi (‘Penguasa Langit’) yang semula diusulkan oleh Ricci tetap dipakai untuk menyebut Allah.
R. Morrison – source: Wikipedia
Membicarakan penginjilan di China, pada akhirnya kita harus menyebutkan nama James Hudson Taylor. Tanpanya, kekristenan di Tiongkok tentu akan menempuh jalan berbeda. Lahir di Inggris, Hudson Taylor menghabiskan waktu lebih dari lima puluh tahun di Tiongkok. Ia mendirikan CIM (China Inland Mission) yang kemudian sangat berperan mengabarkan Injil sampai ke pelosok negeri China. CIM kemudian berganti nama menjadi OMF International. Hudson Taylor dan para misionaris CIM berpakaian tradisional China, sehingga mereka kerap ditertawakan sebagai pigtail mission, karena rambut mereka berkuncir seperti kebiasaan warga Tiongkok masa itu. Ribuan pria dan wanita bangsa asing maupun Tionghoa bergabung dalam CIM dan tanpa lelah mengabarkan kabar baik ke seluruh negeri.
Salah satu misionaris yang bergabung dalam CIM adalah George Stott, kerap dijuluki “One-legged Scotsman” karena hanya berkaki satu. Sebagai salah satu misionaris paling awal bergabung dengan CIM, bersama istrinya Grace ditugaskan ke kota Wenzhou pada tahun 1866. Ia berkarya selama 22 tahun di kota berhawa sejuk di Tenggara China itu. Kini, Kota Wenzhou dijuluki “Yerusalem di China” karena memiliki lebih dari satu juta umat Kristen dan ribuan gedung gereja. Pada tahun 2014 lalu, ribuan salib diturunkan dari gedung-gedung gereja yang berdiri menjulang ke langit oleh pemerintah komunis China yang merasa gerah akan perkembangan umat Kristen di kota itu maupun di seluruh Provinsi Zhejiang.
George Stott – source: Wikipedia
Poros Baru Kekristenan
Penderitaan berat umat Tuhan terjadi saat komunisme menguasai Tiongkok, dan puncaknya adalah saat Revolusi Kebudayaan digemakan tahun 1965–1976. Tentara Merah menangkapi para cendekiawan, tak terkecuali umat Kristen dan pengerja gereja. Semua gereja ditutup dan dihancurkan, umat Kristen dianiaya dan dipenjara. Sepertinya kekristenan akan tinggal nama lagi seperti beberapa abad sebelumnya. Tetapi itu tidak terjadi! Kali ini Tuhan sudah mempersiapkan anak-Nya menghadapi pencobaan yang mahaberat. Umat Kristen tetap beribadah di bawah tanah sampai angin sejuk berembus kembali pada dekade 1980-an seiring naiknya Deng Xiaoping sebagai pemimpin China yang membawa berbagai perubahan di negeri tengah itu. Sungguh menakjubkan, sebelum terjadi penindasan, jumlah umat Kristen hanya 1–3 juta orang (1949) dan seolah hilang selama masa penganiayaan. Namun, setelah gereja-gereja dibuka kembali, jemaat semakin memadati gereja dan kini jumlahnya mencapai lebih dari seratus juta jiwa, dengan Protestan Injili dan Karismatik mendominasi dan berkembang paling cepat. Masa penuaian telah datang, setiap hari ada 70 ribu orang dibaptis sebagai anggota gereja.
Zhao Xiao, mantan pejabat Partai Komunis yang bertobat, mengatakan bahwa jumlah orang Kristen saat ini di Tiongkok telah melebihi jumlah anggota Partai Komunis yang berjumlah 75 juta. Puji Tuhan, kini pemerintah China juga mulai bisa menerima pertumbuhan gereja yang pesat, karena pragmatisme mereka yang melihat bahwa pertumbuhan spiritual juga diperlukan untuk menangkal dampak negatif dari pertumbuhan ekonomi yang pesat. Orang Kristen dihormati dalam masyarakat karena menunjukkan kehidupan sosial dan perilaku individual yang patut dicontoh. Di komunitas Kristen, tercipta masyarakat yang damai dan penuh kekeluargaan. Lembaga riset independen kini memprediksi: Dalam 10–15 tahun lagi, Tiongkok akan memiliki jumlah orang Kristen terbanyak di dunia, melebihi penduduk Kristen di Amerika Serikat! Negeri China akan menjadi poros baru dan Yerusalem baru bagi kekristenan, dan dari sana Injil akan menyebar ke Jepang, Korea Utara, dan seluruh dunia! Akan muncul banyak ‘John Sung’ baru. Amin.
Sumber Bacaan :
- Christianity in Asia, Jilid II, Dari Yerusalem sampai ke Beijing, A. Heuken SJ, Yayasan Cipta Loka Caraka, cetakan pertama, 2008
- http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/asia/china/10776023/China-on-course-to-become-worlds-most-Christian-nation-within-15-years.html
- https://www.chinacenter.net/2016/china_currents/15-1/protestant-christianity-in-the-peoples-republic/
- https://en.wikipedia.org/wiki/Protestantism_in_China