“Faith is deliberate confidence in the character of God whose ways you may not understand at the time.” — Oswald Chambers
Pada suatu masa, terjadi kelaparan hebat melanda tanah Israel.
Hujan tak pernah turun selama lebih dari dua tahun. Tanah kering kerontang tak menghasilkan apa-apa.
Kedahsyatan kekeringan itu meluluhlantakkan kehidupan siapa pun, merembet hingga keluar wilayah Israel, dan mengenai juga seorang janda yang tinggal di Sarfat, di wilayah Sidon (saat ini termasuk wilayah Lebanon).
Bagi janda itu, hidup dan mati hanya berbatasan setipis rambut.
Meja makannya kosong, periuk belanganya telah lama kering. Wajannya sudah beberapa hari tengkurap, setelah penggorengan itu dipakainya terakhir kali beberapa hari yang lalu. Janda itu memang tidak tiap hari meremas tepung dan membikin roti. Ia mencoba bertahan dengan mengatur pola makannya bersama seorang anaknya. Tepung dan minyak yang dimilikinya tak bakal cukup jika harus tiap hari memasak, karena kemarau tak ada tanda-tanda berakhir.
Jadi perutnya hanya terisi kadang-kadang saja, on-off, atau istilah lainnya “Senin-Kemis”.
Hari itu kritis. Perutnya dan perut anaknya melilit perih. Tubuhnya gemetar dan lemas. Ia meninggalkan anaknya dan keluar rumah untuk mencari ranting-ranting kering untuk kayu api. Hari itu bakal menjadi hari terakhirnya.
Sementara ia keluar rumah, maut menunggu di ambang pintu rumahnya, mengintip melalui sebuah celah sempit. Maut tak sabar untuk masuk dan menyambar nyawa anaknya.
Ketika ia mengumpulkan ranting-ranting di tengah teriknya hari, tiba-tiba seseorang menyapanya. Seorang asing. Dari penampilannya, jelas bukan orang sebangsanya.
Laki-laki yang tampak lelah itu adalah Nabi Elia. Janda itu tak mengenalnya selain melihatnya sebagai seorang asing yang kelelahan.
“Berikan aku sedikit air dalam kendimu itu,” kata Elia.
Janda itu memang masih memiliki air dalam kendinya. Baru saja ia beranjak hendak menuang airnya, Elia berkata lagi, “Buatkan bagiku sepotong roti.”
Deg. Janda itu kaget. Ia yakin tak salah dengar. Walaupun perutnya sudah beberapa hari ini kosong, kesadarannya masih baik, telinganya masih normal. Entah bagaimana, ia tahu Elia datang dari suatu bangsa yang menyeru Allah.
“Maaf Tuan, demi Tuhan, Allahmu yang hidup, aku hanya punya segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-buli, yang hanya cukup untukku dan anakku pada hari ini, dan besok aku tidak punya apa-apa lagi, selain kain kafan yang sudah kusiapkan untukku dan anakku,” jawab janda itu. Tetapi Elia menjawab, “Bikinkan roti untukku terlebih dahulu, baru untukmu dan anakmu.”
Telinganya sungguh terbukti masih normal. Orang asing itu jelas sekali meminta makan, tanpa tanya ini-itu, pun tak sepatah kata pun menanyakan misalkan, “Bagaimana keadaanmu? Bagaimana anakmu? Adakah cukup roti di rumahmu?” Tidak ada pertanyaan ramah seperti ini. Orang itu langsung minta makan kepadanya.
Ia sangat ingin menolong orang asing yang membutuhkan. Tapi hatinya serasa tergilas roda besi kereta kuda.
“Duhai Tuan, Tuan sungguh tidak punya rasa,” pikir janda itu. Mulutnya terkunci tapi bibirnya gemetar.
Wajar ia berpikir demikian, karena Elia meminta makan padanya di saat paceklik dan janda itu hanya punya napas sehari lagi, dan itu pun akan dimintanya pula? Itu bukan sekadar permintaan roti melainkan sebuah permintaan nyawa.
Janda itu ingat kepada anaknya yang tergolek memegangi perutnya. Ia tahu keperihan itu. Perutnya pun juga sama. Tetapi mata Elia seakan berbicara.
Lalu janda itu mengajak Elia ke rumahnya.
Sementara mereka sedang berjalan, Nabi Elia berkata, “Allah Israel berfirman kepadaku, ‘Tepung dalam tempayan itu tidak akan habis dan minyak dalam buli-buli pun tidak akan berkurang sampai pada waktu Tuhan memberikan hujan ke atas muka bumi.’”
Apakah janda itu mengerti perkataan Elia atau tidak, entahlah. Ia terus berjalan. Perkataan Elia memojokkannya di sebuah sudut ketaatan.
Tibalah mereka di rumah. Ketika maut melihat janda itu membuka pintu untuk Nabi Elia, maut yang sudah menahan air liurnya sejak tadi bergeser agak menjauh. Ia untuk sementara membatalkan niatnya untuk masuk. Ia menunggu di bawah pohon yang daun dan rantingnya sudah kering.
Dengan hati nelangsa, janda itu mempersilakan Nabi Elia untuk duduk dan menunggu. Ia menuju ke belakang, meremas tepungnya dalam genggam terakhir, menuang minyak dalam tetes terakhir, lalu membolak-baliknya di atas wajan. Perutnya perih, tetapi hatinya terasa lebih perih lagi.
Hari itu ia harus merelakan bagiannya untuk diambil bagi orang lain. Biarlah. Ia ikhlas. Ia sendiri tak peduli ada dua perut kosong yang meronta menuntut makan.
“Jika makananku kuberikan kepadanya, aku mati hari ini, jika tak kuberikan, aku mati besok. Ah sudahlah, mati hari ini dan besok tak jauh beda,” pikirnya. Dan ia pun pasrah. Mustahil untuk melihat matahari esok.
Tubuhnya limbung, tetapi tiba-tiba … tiba-tiba ia merasa sedang memegangi sesuatu. Sesuatu yang tak ia mengerti, tetapi yang tiba-tiba ia miliki, jauh di kedalaman hati. Entah dari mana, tiba-tiba ia rasakan seperti ada yang memberi. Ia ingat saat berjalan tadi Elia menyebut Allah Israel.
“Allah Israelkah yang memberiku sesuatu untuk peganganku hari ini?” tanyanya dalam hati tak mengerti. “Bukankah aku orang Sidon? Mengapa Allah Israel mengutus orang ini untuk mengunjungi aku?” pikirannya berputar tetapi tetap tak mengerti. Ia hanya memegangi ‘sesuatu’—pemberian tadi, setitik kecil tapi cukup baginya untuk bersandar.
Ia belum pernah mengerti apa itu iman. Yang ia lakukan hanyalah suatu perbuatan kepada seseorang yang perkataannya berkuasa. Di balik itu, apalagi, ia tak mengerti bahwa ia lah yang diperintahkan oleh Allah untuk memberi makan kepada Nabi Elia. (“Bersiaplah, pergi ke Sarfat yang termasuk wilayah Sidon, dan diamlah di sana. Ketahuilah, Aku telah memerintahkan seorang janda untuk memberi engkau makan.” – 1 Raja-raja 17:9)
Ia mematikan api. Keringatnya bercucuran bukan hanya karena udara yang panas, tetapi juga karena perutnya yang bergejolak.
Dilihatnya Nabi Elia yang masih duduk tepekur di ruang depan.
“Ambillah Tuan, redakan rasa laparmu,” katanya sambil menyajikan roti yang baru diangkat dari penggorengan. Semerbaklah harum roti yang cuma sekerat itu. Ia melihat anaknya berjuang menahan air liurnya yang hampir menetes. Ia memalingkan muka. Matanya basah.
Janda itu masih mendengar suara mulut Elia yang mengecap-ngecap roti ketika ia menghampiri anaknya yang tergolek lemah. Ia mendekapnya, menciumnya, lalu berjalan menuju ke belakang.
Ia melihat tempayan tempat tepung itu, dan buli-buli tempat minyak itu. Ia hendak menengkurapkan tempayan dan buli-buli itu dan menunggu ajal menjemput.
Tetapi hari itu ia dua kali lagi membuat roti bundar. Kali ini untuk anaknya dan untuknya sendiri.
Hari-hari setelahnya; tempayannya, buli-bulinya, dan wajannya tak pernah tengkurap lagi.
***“Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap orang dari bangsa mana pun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya.” (Kisah Para Rasul 10: 34–35)
No Comment! Be the first one.